Korban KDRT Jadi Tersangka: Antara Dilema & Relasi Kuasa – Ngomongin soal KDRT nggak lepas dari peran pelaku. Emang sih, kekerasan itu bisa terjadi sama semua orang. Tapi di kasus ini, perempuan selalu rentan jadi korbannya. Miris sih, apalagi kalo kita denger seringkali korban yang jadi tersangkanya. Misalnya kasus yang terjadi di Depok baru-baru ini. Seorang istri jadi korban KDRT dengan banyak perlakuan yang keji banget dari sang suami. Mulai kepalanya dibenturin ke tembok, dapetin jambakan di rambutnya, bahkan mata korban ditaburi bubuk cabai. What’s wrong with people?
But guess what? Setelah korban ngelaporin kejadian yang dia alami, dia sendiri justru yang malah jadi tersangka. Usut punya usut, ternyata pelaku juga ngelaporin korban dengan kasus yang sama. Pihak kepolisian pun akhirnya netepin keduanya sebagai tersangka. Even worse, yang justru ditahan adalah perempuan yang notabenenya adalah korban. Sedangkan pelaku justru bebas berkeliaran karena alasan kesehatan.
Kejadian ini menambah panjang daftar hitam korban KDRT yang gak dapet keadilan, justru malah jadi tersangka. Seringkali dalam kasus KDRT ini, perempuan lah yang jadi korban. Misalnya kasus public figure Lesti Kejora dan Rizky Billar yang viral pas 2022 lalu. Lesti sebagai korban KDRT mengaku mendapat perlakuan keji dari Rizky, ia dibanting dan bahkan sempat dapetin upaya lemparan bola billiard. Sebenernya Lesti udah laporin kasus ini ke pihak berwenang. Rizky pun udah ditetapin jadi tersangka. Tapi, entah mengapa pada akhirnya Lesti mencabut laporan dan justru malah balik lagi sama Rizky.
Ada apa sih sama KDRT terhadap perempuan? Kenapa pula banyak pihak yang seolah-olah berpihak sama korban?
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, kasus KDRT mayoritas diderita sama kaum perempuan. Dari 9.605 kasus yang terjadi sepanjang 2023, sebanyak 89.39% atau 8.580 korbannya adalah perempuan! Hal ini tentunya terjadi bukan tanpa sebab. Artikel dari VOA Indonesia ngungkapin kalo kasus KDRT terhadap perempuan ini terjadi karena karena konstruksi budaya dan agama. Tradisi kayak pasok tukon atau pemberian sejumlah uang dari keluarga untuk perempuan ngebuat laki-laki jadi ngerasa punya “hak penuh” terhadap perempuan. Hal ini juga ngebuat perempuan jadi harus menerima perlakuan apapun dari pihak laki-laki.
Tradisi ini sejalan sama budaya patriarki yang masih eksis sampe sekarang. Banyak laki-laki ngerasa lebih superior dibanding perempuan sampe ngelakuin hal-hal di luar batas kayak KDRT. Emang sih, laki-laki itu punya status sebagai kepala rumah tangga dan punya tanggung jawab penuh terhadap keluarga. Tapi… Bukan berarti dengan status ini laki-laki jadi bisa ngelakuin KDRT, ya! Selain itu, relasi kuasa juga menjadi penyebab mengapa kasus KDRT ini terus terjadi. Pelaku biasanya menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi, dan/atau status sosialnya buat ngekang korban. Misalnya, di banyak kasus, banyak perempuan yang akhirnya mencabut laporan dan rujuk sama pelaku KDRT setelah “ditipu” dengan omongan pelaku.Mirisnya, di satu sisi korban ngerasa gak bisa hidup mandiri secara ekonomi, dan bahkan ngerasa takut karena dapet ancaman dari si pelaku.
Hal ini tentunya bakal nambah parah karena kondisi hukum yang seringkali mendiskriminasi korban dalam banyak kasus. Menurut Kholidah Lubis– pendamping korban KDRT dari Perkumpulan Sada Ahmo organisasi non-profit yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, pihak kepolisian acap kali “meremehkan” laporan KDRT dari perempuan. Mereka justru menyuruh korban untuk “berdamai” dan pulang ke rumah suaminya setelah dapetin KDRT selama bertahun-tahun lamanya.
Ada solusinya gak sih?
Dalam hal ini, tentunya lembaga kebijakan publik harus lebih baik lagi dalam menangani kasus KDRT. Sebagai penegak hukum, mereka seharusnya menjalankan peran penting untuk menjadi penengah, bukan malah berpihak ke pelaku dan justru diskriminasi korban kayak banyak kasus yang udah terjadi. Kasus KDRT gak akan pernah selesai kalo penanganan kasus selalu jalan di tempat.
Semoga ke depannya kasus kayak ini bisa terus berkurang trennya. Pun kalo kasusnya masih kita temui, semoga penangannya bisa lebih baik, adil, dan transparan. Stop kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual!
Untuk menemukan konten menarik lainnya seputar isu anak muda, yuk kunjungi profil Instagram Ziliun! dan jangan lupa di-follow juga!