Beberapa hari yang lalu saya baca artikel ini, dapat dari timeline Facebook. Singkat cerita, artikel itu menceritakan kegalauan penulisnya bahwa sesungguhnya ia tak pernah merasa jadi orang dewasa. Di artikelnya, ia mengajukan pertanyaan sederhana: memang kapan sih batasan orang disebut dewasa atau tidak? Di tahap mana seseorang memutuskan ia sudah dewasa? Ia pun berakhir pada kesimpulan bahwa sesungguhnya orang dewasa itu hanya anak kecil yang pandai berpura-pura jadi dewasa, dan sebetulnya kita semua adalah anak kecil dengan bungkus yang berbeda saja.
Saya belum bisa memutuskan apakah saya setuju dengan pernyataan si penulis tersebut atau tidak. Walaupun begitu saya jadi berpikir. Memang kapan ya saya merasa saya sudah dewasa?
Baca juga: Kalau Mau Leha-leha, Ya Kerja di Tempat yang Bisa Leha-leha
Sekarang saya sudah tidak tinggal dengan orangtua saya. Dulu waktu saya masih tinggal dengan orangtua, saya paling malas disuruh-suruh ibu saya di rumah. Disuruh sikat kamar mandi, cuci piring, angkat jemuran, atau beli sesuatu ke warung. Saya dulu melakukan semua hal tersebut ya biar ibu saya ngga ngomel aja. Tapi ketika saya tinggal sendiri, secara sadar saya memilih untuk melakukan hal-hal yang tadinya tidak suka saya lakukan tersebut. Saya memilih untuk melakukan hal itu, karena saya tahu ada konsekuensi atas hal-hal yang saya lakukan (atau tidak lakukan). Saya bisa saja tidak cuci piring selamanya, tapi konsekuensinya: (1) kalau makan saya mesti selalu beli piring/mangkok baru, (2) apartemen saya jadi bau, (3) saya bisa diserang semut dan kecoa, (4) ….entah apa lagi.
Ngomong-ngomong soal konsekuensi dan menjadi dewasa, saya jadi ingat perkataan Marshall Utoyo, co-founder Fabelio.com, yang waktu The Backstage ITB yang lalu sempat bilang kalau anggapan orang-orang bahwa jadi bos itu bisa santai-santai karena bisnis punya kita sendiri, adalah salah besar. Bikin bisnis, bikin perusahaan, dan jadi bos itu lebih sulit dan lebih bikin stres daripada jadi karyawan. Kenapa? Ya karena setiap saat kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa ada orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan kita, dan kita mesti mikir gimana caranya cari uang setiap bulan biar bisa membayar jasa mereka yang sudah berkontribusi ke bisnis dan perusahaan kita.
Baca juga: Jangan Cuma Solve Problem, Tapi Solve Real Problem!
Ada banyak hal yang tidak dipikirkan orang ketika merintis perusahaan. Bikin perusahaan bukan cuma sekadar atas dasar punya minat akan satu hal, lalu cuma mau mengerjakan apa yang kita sukai saja. Membangun bisnis berarti secara sadar dan tanggung jawab, mau mengambil langkah yang sebelumnya tidak suka kita lakukan. Ketika ada karyawan yang tidak perform, ada konflik internal yang terjadi, atau pekerjaan yang tidak selesai-selesai, siapa yang harus terjun dan membereskan selain si founder? Saya yakin, itu bukan sesuatu hal yang ingin dilakukan orang pada umumnya. Tapi ketika itu berdampak pada kelangsungan perusahaan, pilihannya apa?
Memang ada juga bos yang ngga mikirin konsekuensi, dan memilih untuk bodo amat. Kalau perusahaannya tutup ya udah. Bangkrut ya bikin baru. Tapi itu jelas membedakan antara founder yang entrepreneur beneran atau bohongan. Yang sudah dewasa atau yang masih anak-anak. Yang berani bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak.
Dewasa jelas tidak ditentukan oleh umur. Tapi rasanya, usia yang lebih tua bisa jadi salah satu ukuran orang memiliki pengalaman yang lebih banyak. Dan pengalaman juga yang membuat orang paham, apa yang terjadi ketika cucian piring dan baju kotor menumpuk tapi tidak dibersihkan dan dirapikan. Ketika kita punya kesadaran untuk memahami bahwa segala sesuatu ada konsekuensinya, di saat itulah kita dewasa. Dan di saat itulah, menurut saya, orang siap untuk jadi pengusaha.
Baca juga: Bikin Startup dan Menjadi Dewasa
Header image credit: hexjam.com
Comments 1