Sekarang lagi hits banget yang namanya inkubator atau akselerator. Tujuannya? Ya untuk menginkubasi para startup yang punya ide bagus, supaya gak berhenti di tengah jalan hanya gara-gara faktor seperti kekurangan modal, gak punya koneksi, atau gak nemu temen yang bisa dijadiin co-founder.
Para startup founder pun berlomba-lomba mengikuti kompetisi yang biasanya diselenggarakan oleh inkubator atau akselerator, di mana pemenangnya dijanjikan berbagai fasilitas seperti co-working space gratis, mentoring dari top industry players, seed funding, dan berbagai perks lainnya mulai dari free Wi-Fi sampai free coffee.
Bahkan, ada beberapa bootcamp di mana pesertanya diundang tanpa harus membayar biaya apapun, dikasih penginapan, makan tiga kali sehari, coffee break dua kali sehari, sampai mentor-mentor yang diterbangin dari berbagai negara. Kurang apa coba?
Kenapa sih hal-hal ini harus dilakukan? Kenapa juga pemerintah mendukung program-program inkubasi ini? Alasannya karena jumlah entrepreneur di Indonesia masih sangat kurang. Jadi, kalau nunggu inisiatif dari masyarakat aja sampai jumlah entrepreneur tumbuh secara organik, bakal lama banget. Istilahnya, beda antara suatu produk baru yang dipromosikan lewat iklan dengan yang gak–umumnya bakal lebih cepat laku produk yang punya budget promosi gede daripada yang gak.
Baca juga: Selain Mentor Hebat, Jangan Lupa Cari Mentor yang Buruk!
Sama kayak entrepreneurship di Indonesia, harus dikasih “intervensi” biar bisa tumbuh dengan cepat.
This seems like a great solution, sampai para inkubator bertemu satu masalah: dari belasan hingga puluhan startup yang diinkubasi, cuma beberapa yang benar-benar take off dan sustainable.
Ini tentunya bikin pusing inkubator atau akselerator yang udah mengeluarkan banyak effort untuk para startup ini.
Memang sih entrepreneurship is a long, windy road. Layaknya pursuit of success lainnya, pasti banyak yang akan tumbang di tengah jalan. Tapi, ini kan udah pada dikasih fasilitas lengkap? Pada kurang bersyukur atau apa ya?
Baca juga: 4 Cara Hemat Buat Anak Startup
Kenyataan inilah yang kemudian bikin banyak orang berpikir, mungkin memang true entrepreneur itu tidak bisa diciptakan. Mungkin orang-orang yang memang tidak punya jiwa entrepreneur tidak bisa dipaksakan untuk bikin startup. Mungkin memang salahnya ada di hal fundamental seperti sistem pendidikan kita atau budaya masyarakat yang mendorong pola pikir inferior.
Orang-orang bisa sampai pada pemikiran tersebut saat membandingkan startup sekarang dengan para konglomerat yang zaman dahulu benar-benar mulai dari nol. Pengusaha-pengusaha tersukses di Indonesia saat ini banyak yang dulunya gak berpendidikan, terlahir miskin, ditipu dan gagal berkali-kali–benar-benar cari jalan sendiri.
Apa semua fasilitas inkubasi dan akselerasi ini malah jadi taken for granted?
***
Bukan berarti terus program inkubasi dan akselerasi jadi gak signifikan dan harus dihentikan. Bagaimanapun, startup yang melewati program inkubasi dan sejenisnya memiliki kemungkinan sukses yang lebih besar.
This point of view here is more about sending a message to the startup founders. Hey, ayo lebih bersyukur. Ayo jangan manja dan jangan sombong. Entrepreneur saat ini merupakan profesi yang sangat glorious, diinginkan oleh semua orang. Gak kayak dulu di mana image-nya entrepreneur itu kayak pedagang yang gak necis dandanannya, yang cuma nungguin warung doang.
Even parents nowadays mulai mendukung anak-anaknya jadi entrepreneur. Hundreds of people name themselves investor, siap ngasih modal. The ecosystem is here and growing.
So start with the right reason, start with a real problem, jangan mengejar perks-nya aja.
Bergelas-gelas kopi yang lo perlukan untuk tetap melek ngoding atau brainstorming udah tersedia, what’s your excuse?
Baca juga: Realita Program Inkubator: Dikasih Hati, Minta Jantung
Header image credit: bizjournals.com