“Jangan suka mimpi di siang bolong!”
“Alah, itu mah cuma mimpi!”
“Gak usah mimpi!”
Ngerasa familiar dengan kalimat-kalimat di atas? Pernah dibilang gitu sama orang? Atau mungkin sering ngomong gitu ke orang lain?
Emangnya ada apa sih dengan mimpi? Bahaya gitu ya punya mimpi, karena kalo ada orang punya mimpi sedikit aja, udah dilarang-larang?
Mungkin karena itu juga sangat sedikit orang Indonesia yang jadi pemimpi, pemikir, dan pencipta. Lebih banyak yang jadi peniru, penurut, dan pengguna. Belum apa-apa udah dicibir sih.
Meskipun begitu, tetep aja ada orang-orang hebat yang, biarpun mimpinya direndahkan dan dianggap salah, selalu berani punya mimpi yang bukan sekadar mimpi. Tapi punya mimpi yang luar biasa besar sampe kadang ngga masuk akal.
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia lewat Arsip Musik Digital
If you can dream it, you can do it ~ Walt Disney
Salah satunya adalah Kang Noey. Pentolan Java Jive, salah satu band legendaris Indonesia yang besar dan terkenal di awal tahun 90an, adalah seorang pemimpi yang tak pantang menyerah.
Lahir di kota kecil di Ciamis, Jawa Barat, Kang Noey kecil punya cita-cita ingin bikin band yang terkenal se-Indonesia. Padahal waktu itu, dia masih SMP. Lebih-lebih, ia bukan berasal dari kota besar, tidak pernah mengenyam pendidikan musik, atau bahkan berteman dengan musisi. Bekalnya waktu itu cuma kaset Duran Duran dan mimpi suatu saat bisa nge-jam bareng Simon Le Bon. Maklum, zaman itu Duran Duran lagi nge-hits banget lah.
Jadilah ia nyoba-nyoba main band di acara perpisahan sekolah, berbekal alat band boleh pinjam dari kakaknya teman. Eh, jadi ketagihan.
Selepas SMP, ia pindah ke Bandung. Selain karena ingin sekolah di tempat yang lebih baik, sebenarnya tujuan utama Kang Noey kala itu adalah, ia pingin banget bisa dapat kesempatan main musik. Sekolah nomer sekian. Main musik lebih penting dari apapun. Saking ngebet pengen jadi musisi, motor pemberian ayahnya untuk transportasi pulang pergi sekolah ditukar dengan sebuah bass yang ditaksir berat oleh Kang Noey. Padahal harga motornya berkali-kali lipat harga bass yang ia beli. Ketika ditegur oleh sang ayah, Kang Noey meyakinkan ayahnya dengan bilang, “Tenang Pak, nanti gitar ini bakal balik modal. Malah bisa buat beli mobil.”
Baca juga: Musisi Jalanan Kualitas Papan Atas, Berkat Institut Musik Jalanan
Band Java Jive yang ia bentuk pertama kali sewaktu SMA, kemudian mulai terkenal dan banyak dapat tawaran manggung saat ia kuliah di Universitas Padjajaran, jurusan Ilmu Sejarah. Nggak lama, janji Kang Noey kepada ayahnya terkabul, motor yang digadai bass sudah bisa jadi mobil hasil Java Jive manggung sampai ke Singapura dan Malaysia.
Ketika ditanya apa yang bikin Kang Noey berani bermimpi, ia bilang, “Cuma gara-gara dulu suka baca. Dulu di rumah Bapak koleksi banyak buku, jadi tahu macem-macem dari banyak baca buku.”
Mimpinya waktu SMP tercapai ketika Java Jive kemudian mengeluarkan album yang diterima oleh masyarakat dan menjadi hits. Mereka kerap diundang manggung di berbagai kota di Indonesia, di pertengahan tahun 90an.
Mimpi yang diucapkan Kang Noey beberapa tahun sebelumnya, di kota kecil yang minim inspirasi dan panutan, tuntas terbayar karena visi besar yang fokus dilakoninya dari awal. “Padahal dulu mah saya sempet kesebut pengen terkenal sampai seluruh dunia, biar kayak Duran Duran. Eh, malah saya ralat sendiri jadi cuma pengen nge-jam bareng Duran Duran. Kalo dulu cita-cita saya ga diralat, mungkin Java Jive udah terkenal sedunia,” ujarnya.
Baca juga: Q&A: Benny dan DSLR Cinematography Indonesia, Menyebarkan Karya dengan Berbagai Cara
Image header credit: picjumbo.com