Sore itu, semuanya resah menanti IPK yang tak kunjung memberikan kelegaan pada para penanti IPK. Beberapa terlihat begitu canggung, kikuk, dan panik. Sedangkan beberapa masih asyik dengan gadget, tetap bercanda dengan yang lain seolah-olah IPK bukanlah sebuah dilema. Hingga salah satu dari kami memulai menyeletuk, “Kamu mah enak, pinter, IPK sudah pasti tinggi,”.
“Iya, tuh, coba kalau kamu jadi kami pasti sudah panik nggak karuan nunggu IPK”, timpa seorang yang lain.
Aku tersenyum, terus mendengarkan musik yang mengalun melalui headset-ku. Lalu, tiba-tiba salah seorang diantara kami nyeletuk tajam. Katanya,
“Cuma orang yang nggak punya masa depan yang bergantung sama IPK”.
Kami semua tetiba hening, saling berpandangan.
“Maksudnya, Pak?”.
Serentak kami menanyakan hal yang sama. Ia, seorang dosen yang merangkap sebagai kaprodi jurusan kemudian hanya menjawab dengan senyum meledek.
Baca juga: Buat Apa Sih Bikin Startup Pas Masih Kuliah?
“Yaaa, kalau kamu kuliah cuma buat IPK ya buat apa? Kuliah itu soal proses.”
“Aku, dulu malah pas sidang skripsi dapetnya dibawah rata-rata. Bayangin aja, aku asdos, tugas selalu kelar. Eh, sidang dapet C. Piye perasaanmu?”
Kami masih bungkam.
“Aku sih nggak apa-apa, temen-temen yang panik. Kata mereka, aku yang asdos saja cuman dapet nilai C, gimana dengan mereka?” lanjutnya.
Dosen saya ini agak unik. Meski hanya mendapatkan nilai C dan punya kesempatan untuk memperbaikinya, beliau menolak dan menantang balik penguji skripsinya. Katanya,
“Saya nggak perlu perbaiki nilai, saya akan buktikan kalau dengan nilai C ini, saya bisa buktikan ke kalian semua kalau saya bisa jadi orang!”
Baca juga: Buat Apa Kuliah Kalo Hasilnya Kayak Gini!
Sebagai salah seorang dosen terbaik di kampus, beliau selalu mengajarkan mahasiswanya untuk selalu rajin dan rajin melihat kesempatan. Belajar, katanya nggak harus di kampus. Makanya, beliau suka banget ngasih tugas ke lapangan. Beliau dulunya kuliah di Jurusan Ilmu Tanah, tapi sekarang menjadi dosen Ilmu Komunikasi. Selain menjadi seorang jurnalis, beliau juga menjadi praktisi komunikasi!
Dalam setiap kesempatan, beliau selalu bilang ke saya betapa pentingnya mencoba setiap kesempatan.
Mau sukses atau gagal, yang penting itu berani nyoba dulu!
Saya lalu berpikir bahwa kuliah itu bukan soal ambil jurusan apa, di universitas mana, atau berapa IPK ketika lulus kelak. Kuliah, buat saya lebih ke ‘apa yang akan didapatkan setelah menjadi almamater’? Bukankah lebih baik kuliah di kampus biasa saja tapi bisa menjadi seseorang yang luar dan bermanfaat buat banyak orang daripada kuliah di tempat ternama tapi begitu lulus ya ‘gitu-gitu aja’.
Baca juga: Untungnya Jadi Kaya: Bisa Pilih Jurusan Kuliah yang Gak Bikin Kaya
Memang banyak yang menunjukkan bahwa universitas ternama itu punya kredibilitas tinggi. Bahkan, nggak bisa dipungkiri bahwa hal itulah yang pada akhirnya membuat kita ingin masuk ke universitas tersebut. Sudah terjamin kredibilitasnya, tho?
Tapi ya itu, satu hal yang nggak boleh banget luput dari tujuan kita adalah, kita kuliah bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang lebih baik. Masa depan kita sendiri, dan juga masa depan orang lain yang akan kita rubah jadi lebih baik.
Karena kalau nanti sukses, orang nggak akan lagi peduli dengan elo lulus dari kampus mana, elo jurusan apa, dan mereka juga nggak akan tanya berapa IPK elo. Is it right?
So, sekarang tanya deh sama diri kalian masing-masing. Sudah sejauh mana kalian peduli dengan masa depan kalian sendiri?
Baca juga: Kata Siapa, “Harus Jadi Sarjana Dulu Kalau Mau Sukses” ?