Kita semua memang tak luput dengan aktivitas saling menghakimi—baik itu secara terang-terangan ataupun ghibah iseng pada siang bolong. Bersyukurlah bila hanya sekadar pikiran lewat dan tak sampai terucap (kita turut serta dalam prevensi korban sakit hati akibat gosip dan penghakiman subjektif). Topik penghakiman paling populer adalah perihal duit. Kekayaan milik orang lain dan punya kita sendiri yang perbandingannya tiada habisnya.
Wah si A beli merpati pos baru! Wah si B ganti becak! Wah si C liburan ke Timbuktu! Wah si D beli gubuk baru di daerah Pondok Indah!
Dimulai dari sebuah observasi. Mengamati perubahan yang terjadi. Bisa tebak selanjutnya observasi ini arahnya ke mana?
Bukannya si A udah punya ya? Perasaan punyanya si B masih mulus deh? Si C kagak ada kerjaan apa? Liburan mulu. Lah itu si D emang ga betah atau gimana?
Sesudah mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sekiranya (tidak) penting, dilanjutkan dengan pembelaan diri.
Ah, mereka sih orang kaya. Sok-sokan, pamer. Kita sih biasa-biasa aja lah, sederhana aja lah. Ga usah yang mahal-mahal.
Baca juga: Uang Bikin Bahagia, Sampai Titik Tertentu
Hmm? Iya, ngomongnya begitu dengan teman-teman senasib di tongkrongan. Sembari berkoar-koar tentang gaya hidup yang sederhana, bahagia itu sederhana, kehidupan ala Stoics di zaman Yunani, anti-kemapanan, dan lain-lain. Semuanya berjamaah mengangguk dan mengiyakan. Pas pulang ke tempat masing-masing, eh–wajah bersimbah air mata mengadu ke Yang Maha Kuasa kenapa hidup begitu tidak adil, seraya menyalahkan oknum-oknum yang (kira-kira) bersalah. Entah itu bos di tempat kerjalah, pemerintahlah, politikuslah, sampai ibu warung sebelah kenapa harus menaikkan harga sembako menjadi lebih mahal seribu perak.
Sudah begitu, dilanjutkan dengan ritual mengamati sosial media. Muncul lah update kegiatan yang terlihat mahal dan tipikal kerjaannya orang-orang berduit. Ya sudah. Rasa cemburu, kesal, marah, serta pembelaan diri muncul secara bertubi-tubi.
Nah, pertama, saya bukannya membela orang-orang yang sering pamer di sosial media. Itupun mereka tidak salah. Bukannya tujuan sosial media memang untuk pamer? Pencitraan diri? Toh tidak adanya sosial media pun apapun yang kita lakukan selama hidup adalah pencitraan. Lalu, yakin apa yang ditampilkan 100% benar? (Berdasarkan pengalaman saya melihat banyak behind the scenes foto-foto yang kelihatannya glamor. Percayalah, memang hanya sebatas kulit penutup).
Baca juga: 4 Hal yang Memotivasi Manusia Lebih Daripada Uang
Kedua, saya tidak mengaminkan sistem kapitalisme sepenuhnya, ataupun mengiyakan komunisme. Saya percaya too much of something is bad. Kehidupan sederhana pun tidak ada salahnya, begitupun dengan menikmati life’s pleasures pun bukanlah suatu dosa.
Ketiga, memang sih—perihal makro di negara ini ya memang urusan Bapak-Bapak serta Ibu-Ibu yang di bagian pemerintahan sana. Kalau ada sesuatu yang salah, siapa lagi yang kemungkinan besar bertanggung jawab? Walaupun rakyat berhak mengkritisi dan turut berkontribusi, yang menjalankannya bukan kita ini kan?
Setelah ilustrasi dan klarifikasi saya diatas, ada satu poin yang ingin saya simpulkan : Siapapun, dimanapun, kapanpun seseorang itu, ia dapat memilih ataupun mengubah nasibnya.
Klise memang, tapi terlalu banyak orang munafik, mau tapi malu-malu kucing. Gengsi. Terlalu malas berpikir dan malas bergerak. Malas untuk berkeringat sedikit lebih untuk berubah, sehingga menyalahkan faktor-faktor yang kebanyakan tidak langsung mempengaruhi.
Baca juga: Kenapa Harus Hidup Hemat Walaupun Punya Uang Banyak
Rasa iri itu baik dalam porsi cukup, kita perlu pecut eksternal untuk menjadi lebih baik. Bukan dipelihara dan dijadikan tameng! Bukan untuk dijadikan alasan-alasan tidak berdasar! Bukan dijadikan untuk menanamkan rasa bersalah ke orang yang tidak bersalah!
Kalau memang merasa cocok dengan lifestyle yang high-end tapi kondisi sekarang tidak mungkin, bluntly speaking, work for it. Jangan sibuk berkoar-koar betapa tidak adilnya dunia itu atau si anu dan si ini sok-sokan. Ya memang kalau diberi lebih, masa tidak dipakai?
Sama juga dengan orang orang yang sudah di kelas atas. Jangan karena seseorang itu tidak mengikuti tren yang high-end atau memilih untuk menjadi sederhana bukan berarti dia sengsara dan sedih. Kalau ada yang emang doyannya makan nasi pecel ketimbang fillet mignon ya biarlah. Kalau ada yang emang cocoknya sama mobil 7-seater ya tidak usahlah ditekan untuk membeli mobil berpintu dua. Kalau memang orangnya sudah bisa bahagia jalan-jalan di taman kota saat akhir pekan ya tidak usah disamakan dengan yang sudah bolak balik Eropa tiap tahun.
Baca juga: Jangan Terlalu Ngikutin Prinsip Ekonomi
Dan siapa bilang segala sesuatu yang glamor bisa selalu membuat kita bahagia? Bukannya ada beberapa hal yang sederhana yang jauh lebih memuaskan?
Banyak yang berjuang untuk sampai ke gaya hidup di atas kelasnya, dan banyak juga yang memilih untuk men-downgrade gaya hidupnya.
Itu semua pilihan. Manusia tidak akan pernah habis ambisi-ambisinya. Yang salah adalah dengan menghakimi secara membabi-buta baik dengan melihat ke atas ataupun merunduk ke bawah. Yang salah adalah ketika kita terlalu banyak mengkritisi dan tidak mau mengubah keadaan. Kalau tidak suka, ubahlah, berusahalah.
Header image credit: stanforddaily.com