Poin B : Banyak potensi diri manusia yang “tenggelam” dalam usaha untuk sekadar “survive” dalam kehidupan sehari-hari
Begitu banyak orang yang bekerja pada bidang yang tidak ia sukai atau tidak ia mau hanya karena ia membutuhkan gaji/pemasukan/pendapatan. Dengan kebutuhan dasar yang terpenuhi oleh gaji dari negara, maka seluruh lapisan masyarakat diharapkan akan melakukan hal yang memang sesuai dengan potensi diri dan kesukaannya. Jika seorang manusia tidak lagi memikirkan bagaimana ia memenuhi kebutuhan pokoknya, bukankah aktualisasi diri dan manfaat bagi sekitar-lah yang berikutnya akan ia pikirkan?
Bayangkan seorang penulis muda di Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi untuk menghasilkan karya yang sekelas dengan Sir Arthur Conan Doyle atau Haruki Murakami. Namun, dalam perjalanan hidupnya ia menemui berbagai macam hambatan yang akan mencegahnya untuk menjadi penulis secara full-time. Hal-hal seperti pendapatan yang tidak pasti, komentar dari keluarga dan kawan, pekerjaan lain yang lebih stabil pendapatannya, penolakan dari penerbit, dan masih banyak lagi. Karena hal-hal tersebut, sang calon penulis hebat ini akan berhenti berkarya dan menyia-nyiakan potensi diri yang ia miliki.
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah akar dari hambatan-hambatan di atas sebenarnya dapat disimpulkan hanya dalam satu kalimat. Akar dari tidak lahirnya sang penulis ulung ini sebenarnya adalah “kekhawatiran akan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehari-hari”. Itu saja.
Cerita (yang tidak sepenuhnya imajiner) di atas baru satu contoh kecil. Coba renungkan betapa banyak potensi diri yang bahkan digugurkan tanpa sempat melihat dunia? Berapa banyak calon komposer, musisi, ilmuwan, olahragawan, pebisnis, atau politikus ulung yang memendam dalam-dalam mimpinya hanya karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Pola inilah yang ingin diubah oleh program Universal Basic Income, yaitu bergesernya pola pikir masyarakat dari survivability dan “mencari uang” kepada self-actualization dan “mencari kontribusi”.
Baca juga: Kalau Sekedar Nyari Uang, Buka Warteg Aja!
Dalam kasus pembagian BLT, terjadi berbagai macam kesalahan dan keributan. Metode pembagian yang tidak efektif, distribusi yang terkadang salah sasaran, kriteria penerima bantuan yang kurang jelas, hingga kasus penyelewengan oleh petugas dan pemalsuan kartu BLT. Akar dari masalah ini adalah adanya kriteria pembeda antara siapa yang berhak dan tidak berhak menerima bantuan. Dengan adanya perbedaan ini maka muncul banyak celah kecurangan, pemalsuan, korupsi, serta penipuan.
Jika seluruh lapisan masyarakat berhak mendapatkan Basic Income dengan jumlah yang sama dari negara, maka apalah gunanya memalsukan dokumen? Apakah masih ada istilah salah sasaran? Akankah tetap muncul kecemburuan sosial karena ada yang dapat dan ada yang tidak dapat bantuan? Beban administrasi dari Kemensos pun akan jauh lebih mudah dan murah karena tidak perlu ada proses pengecekan dokumen, survey lapangan, dan pendataan pemasukan untuk mendapatkan daftar warga yang berhak mendapatkan bantuan dan tidak berhak mendapatkan bantuan.
Bagaimana, tertarik dengan konsep Universal Basic Income? Bagaimana kalau diimplementasikan di Indonesia?
Baca juga: Ekonomi Era Digital: Ancaman? atau Peluang?
Artikel ini ditulis oleh M Sena Luphdika dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadi Sena.
Image header credit: picjumbo.com