Saya termasuk yang percaya bahwa apa yang ditampilkan oleh TV mewakili sebagian wajah masyarakat.
Acara-acara yang ditayangkan di TV merefleksikan sebagian sikap penontonnya. Media dan masyarakat saling berinteraksi. Apa yang disuguhkan media bisa mempengaruhi budaya dan perilaku penonton. Tapi di sisi lain media juga menjadi cermin atau mungkin jendela untuk mengintip kondisi masyarakat.
Jika banyak tayangan dikritik oleh penonton karena dianggap kurang pantas, maka secara tak langsung dan tak sadar hal itu juga merupakan kritik untuk lingkungan kita sendiri. Ketika banyak acara debat yang menonjolkan perilaku saling serang untuk merendahkan diri lawan bicaranya, maka itu mungkin menggambarkan kondisi masyarakat kita yang mudah mencaci dan nyinyir.
Baca juga: Memberdayakan TVRI dan RRI di Era Hegemoni Media
Masalahnya banyak di antara kita yang bersikap ambigu. Sebagai makhluk ambivalen, manusia memang kerap mendua. Demikian halnya dengan banyak penonton yang sering mengeluhkan kualitas tayangan TV, tapi di saat yang sama mereka tak pernah meninggalkan tayangan-tayangan itu. Banyak di antara kita mengkritik “jurnalisme Raffi Ahmad” tetapi diam-diam menyukai dan terus mengikutinya.
Sikap ambigu membuat penonton tidak memiliki ketegasan dalam menentukan tontonannya. Padahal ketegasan penonton bisa menghasilkan hukuman yang lebih menjerakan dibanding sanksi KPI. Jika selama ini TV dianggap telah memaksa masyarakat untuk menonton tayangan rendah mutu yang disajikan, maka sudah semestinya masyarakat berbalik melawan dan memaksa TV untuk berhenti menyuguhkan tayangan-tayangan rendah mutu. Caranya dengan berhenti menonton acara-acara yang kurang berkualitas itu.
Baca juga: Melawan Media Mainstream dengan Zine
Sikap permisif yang menganggap “ini kan hiburan, tidak apa-apa menonton yang penting kita tidak ikut-ikutan” perlu ditinjau kembali. Dengan terus menontonnya, maka masyarakat sebenarnya sedang memelihara tontonan itu. Dengan kata lain di balik eksistensi acara-acara rendah mutu, ada andil penonton yang secara tidak sadar telah merawat dan “membenarkan” acara-acara tersebut.
Sudah beberapa tahun terakhir saya melakukan diet TV. Saat saya merasa sebuah acara kurang layak ditonton, maka saya berhenti menontonnya. Percuma jika saya mengkritik acara-acara itu tapi tak berhenti menyaksikannya. Layar TV One telah lama saya letakkan di urutan terbawah pilihan TV Indonesia. Hal yang sama saya lakukan dengan berusaha menghindari tontonan yang menampilkan Raffi Ahmad cs.
Baca juga: Joko Anwar: Online itu Cuma Media, Yang Penting Kontennya!
Cara meredam efek mematikan sebuah virus adalah dengan tidak memberikan nafas kehidupan sedikitpun kepadanya. Ketika sudah semakin parah, sedikit saja pembiaran akan membuat virus bangkit kembali dan semakin merajalela.
Kritik terhadap TV dan tayangan-tayangan yang tidak berkualitas sudah sejak lama ada dan tidak hanya di Indonesia. Namun masyarakat semestinya tidak sekadar mengkritik karena hal itu terbukti tak membuat para pemerkosa frekuensi publik menjadi jera. Ketegasan masyarakat dalam menghukum TV dan acara-acaranya yang merugikan perlu diwujudkan dengan tindakan nyata.
Peran KPI atau pemerintah memang sangat dibutuhkan. Mengharapkan kesadaran media terutama TV juga tak berlebihan. Namun ada satu hal yang selama ini terlewatkan bahwa sebagai penonton, masyarakat juga harus bersikap tegas dalam menentukan tontonan mereka.
Baca juga: Masa Depan Online Video di Tangan ABG?
Berhenti bersikap mendua. Tak cukup lagi hanya menggerutu jika ingin menang melawan teror-teror tayangan rendah mutu. Kita perlu meningkatkan kesadaran dan ketegasan dalam meredam tayangan-tayangan itu dengan berhenti menontonnya. Mau?
Artikel ini ditulis oleh Hendra Wardhana dan sebelumnya dimuat di Kompasiana.
Image header credit: c.tadst.com