Ada kecenderungan tayangan-tayangan selera rendah semakin subur meski telah dihujani kritik dan sanksi.
Maaf jika saya harus meminjam kata “jurnalisme” untuk menggambarkan hal ini hanya karena beberapa waktu lalu terkecoh oleh tayangan di sebuah TV yang menyajikan laporan langsung seorang reporter dari sebuah tempat kejadian. Saya mengira itu bagian dari program berita yang mengabarkan suatu kejadian penting seperti lazimnya laporan langsung reporter lapangan. Akan tetapi saya salah duga. “Berita” yang dikabarkan oleh sang reporter ternyata tentang kelahiran seorang bayi. Tak perlu pikir panjang untuk saya segera mengganti channel. Tapi beberapa saat kemudian berita kelahiran sang bayi nangkring di posisi teratas trending topic Twitter. Luar biasa.
Kritik terhadap kualitas tayangan TV di Indonesia tak pernah habis. Masyarakat memprotes perilaku stasiun-stasiun TV yang memperkosa frekuensi milik publik dan itu dianggap sebagai bagian dari ruang publik, dengan menyuguhkan program acara yang kurang bermanfaat dan tidak mendidik. Tak perlu disebutkan jenis dan judul acara-acara tersebut karena daftarnya sudah cukup panjang.
Baca juga: Cara Biar Televisi Nasional Maju: Matiin TV Lo!
Selama ini sorotan ditujukan kepada KPI dan pemerintah yang dianggap kurang tegas dalam menghukum tayangan-tayangan yang dianggap rendah mutu. Tetapi tidak adil jika hanya menyalahkan KPI karena sanksi yang diberikan sudah sesuai dengan wewenangnya yaitu memberi himbauan, teguran, penghentian atau penghentian sementara. Jika ada tumpang tindih kewenangan dengan peran yang dimiliki Kementerian Komunikasi dan Informatika, maka hal yang bisa didorong adalah meningkatkan koordinasi atau menyamakan pandangan dalam mengontrol serta mengawasi kualitas siaran TV. KPI juga perlu melakukan publikasi secara lebih terbuka kepada masyarakat melalui media lain seperti surat kabar atau radio tentang acara-acara TV yang mendapatkan sanksi agar masyarakat semakin sadar terhadap kualitas tontonan mereka.
Baca juga: Televisi, Media Pembodohan Massa Paling Ampuh
Ada kecenderungan tayangan-tayangan selera rendah semakin subur meski telah dihujani kritik dan sanksi. Acara-acara yang sering mendapat teguran dari KPI justru banyak dipilih untuk memenangi award, semakin eksis dan menjadi trendsetter bagi TV-TV lain untuk memproduksi acara serupa. Seperti sudah menjadi “teror”, beragam acara itu pun menguasai ruang tontonan masyarakat.
Banyak yang berpendapat TV telah meracuni masyarakat dengan tontonan-tontonan yang kurang bermakna dan melecehkan publik. TV memaksa penonton untuk menyaksikan acara-acara itu dengan tidak menyuguhkan pilihan acara lain yang lebih baik. Pagi hingga malam reality dan variety show bergantian muncul dengan selingan sinetron-sinetron minim inspirasi dan edukasi. Siaran berita penuh dengan keberpihakan dan pelintiran fakta. Acara diskusi banyak mengumbar caci dan saling merendahkan diri.
Pendapat itu tak sepenuhnya salah. Tapi apakah eksistensi tayangan bergaya “jurnalisme Raffi Ahmad” sepenuhnya disebabkan oleh sikap TV yang sengaja ingin terus menyuguhkan tayangan-tayangan itu?
Baca juga: Penting Mengerti Konteks, Bukan Cuma Konten
Artikel ini ditulis oleh Hendra Wardhana dan sebelumnya dimuat di Kompasiana.
Image header credit: m.flikie.com