Ya, inilah gambaran masyarakat kita. Benar-benar menjunjung prinsip ekonomi lama: pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil (uang) sebesar-besarnya. Orang-orang yang berhasil menerapkan prinsip ini dengan maksimal dikagumi oleh masyarakat.
Ceritanya seorang sahabat saya baru-baru ini curhat tentang co-worker di kantornya yang sering ngomong, “Enak ya kerja gini. Ongkang-ongkang kaki doang udah dapet puluhan juta sebulan.”
Sahabat saya menyatakan kekesalannya terhadap pernyataan co-workernya itu. Gimana gak kesel? Di saat orang-orang di perusahaan tersebut, termasuk sahabat saya, try to earn the money dengan bekerja keras, co-worker itu (yang kebetulan sudah duduk di posisi manajerial) dengan enaknya merayakan dan berkoar-koar tentang him earning the money not by working really hard (saya sendiri gak tahu kenapa si co-worker bisa seperti itu, ntah dia cuma ngebabuin bawahannya, atau sistem perusahaannya yang berantakan sehingga beban pekerjaan gak terbagi dengan benar).
Nah, tapi nyatanya, walaupun saya dan sahabat saya kesal berdua saat itu, banyak lho yang tidak kesal mendengar pernyataan seperti itu. Banyak orang yang justru mengagumi situasi-situasi macam co-worker sahabat saya itu.
Baca juga: Cashless Society, Generasi Masyarakat Tanpa Uang Tunai
“Eh, si A enak tahu kerjanya. Tiap hari cuma ini dan itu, gajinya udah segitu.”
“Ngapain capek-capek kerja X? Kerja Y aja, gajinya sama, tapi lebih santai!”
Ya, inilah gambaran masyarakat kita. Benar-benar menjunjung prinsip ekonomi lama*: pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil (uang) sebesar-besarnya. Orang-orang yang berhasil menerapkan prinsip ini dengan maksimal dikagumi oleh masyarakat.
Prinsip ekonomi itu gak salah. Yang salah adalah saat kata “hasil” yang ada di prinsip ekonomi tersebut diterjemahkan menjadi uang.
Baca juga: Dari Barter ke Uang: Why Working for Money Won’t Make Us Happy
Ya, kalau si co-worker aneh itu semata-mata menerjemahkan hasil sebagai uang, pantes sih dia udah puas dengan ongkang-ongkang kaki aja. Tapi coba, maksimal gak kinerjanya? Akurat gak hasil risetnya (ya, teman saya ini kerjanya di institusi riset)?
Memang si co-worker ngeselin mungkin udah punya bawahan-bawahan yang bisa diandalkan. Tapi, kelihatan banget kalau pekerjaan atau profesi yang dia pilih gak fulfilling bagi dirinya sendiri. Ya, kalau orang senang sama pekerjaannya, masa sih mau ongkang-ongkang kaki doang dan nerima gaji buta? Pasti dong mau involve dalam proses pengerjaan proyek-proyek tersebut, bukan cuma menghabiskan tiap hari kerja tanpa arti.
Di sinilah “hasil”, selain bisa diterjemahkan jadi “uang” dan “kinerja”, juga bisa diterjemahkan jadi “aktualisasi diri”. Jarang kan ada yang berpikir untuk mengeluarkan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan kepuasaan / aktualisasi diri sebesar-besarnya?
Ya itu, intinya kita jangan terlalu ngikutin prinsip ekonomi. Atau boleh ngikutin, tapi perspektifnya harus digeser, kalo yang dimaksud hasil bukan cuma uang doang, kok.
Baca juga: Kenapa Rupiah Melemah?
*Prinsip ekonomi yang sekarang sudah berganti, menjadi “dengan pengorbanan sekecil-kecilnya mendapatkan hasil tertentu, dan dengan pengorbanan tertentu mendapatkan hasil sebesar-besarnya”, karena prinsip ekonomi yang lama dirasa tidak masuk akal
Header image credit: dailyreckoning.co.uk
Comments 1