Setiap generasi harus menjadi lebih baik daripada generasi pendahulunya.
Dari jaman generasi baby boomer, generasi X, Y, hingga Z, istilah ini akan selalu ada. Saya ga tahu konsep ini pertama kali berasal darimana. Yang jelas, kalimat di atas banyak sekali dijadikan prinsip orang tua dalam membesarkan anak-anaknya.
Kalau dibandingkan dengan jaman sebelum merdeka, istilah di atas ada benarnya. Kemajuan teknologi, industri, dan hampir semua aspek di segala bidang mengalami peningkatan. Bisa internetan walau kadang masih buffer. Atau bisa makan nasi enak setiap hari walau berasnya masih impor. Buffer dan masih impor ini bisa dijadikan PR buat generasi sekarang dan mendatang. Ga salah dong, kalau saya berharap koneksi internet Indonesia bisa secepat Korea? Dan jawaban saya ketika SD kalau negara Indonesia adalah negara agraris, seharusnya itu benar.
Baca juga: Kapan Seseorang Disebut Dewasa?
Kaitannya dengan kependudukan, Indonesia udah mengalami bonus demografi dari tahun 2012. Ini terjadi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan usia 65 tahun atau lebih). Menurut Badan Pusat Statistik, puncak bonus demografi akan dialami Indonesia pada tahun 2028-2030.
Siapakah pelaku dari usia produktif tadi? Kita, anak-anak muda Indonesia, yang mayoritas adalah generasi Millenials, atau generasi Y. Generasi yang digadang-gadang bakal menciptakan perubahan besar buat negeri ini. Bahkan Majalah Times punya julukan sendiri, yaitu ‘The Me Me Me Generation’; Millenials are lazy, entitled narcissists who still live with their parents. Ciri lain dari generasi ini adalah kecanduan sama media sosial dan lahir antara 1981 hingga 2001 (banyak perbedaan mengenai versi usia dari generasi ini, yang saya ambil adalah versi dari Pew Research).
Kalimat who still live with their parents ini menggelitik pikir saya. Karena di Indonesia sendiri yang menjunjung adat Timur, konsep ini di-amin-kan oleh banyak orang. Anak-anak yang mulai tumbuh dewasa hidup satu atap dengan orang tuanya. Makan ga makan yang penting kumpul. Ini banyak terjadi di lingkungan saya. Mereka lebih memilih untuk jadi ‘jago kandang’ dengan masih tinggal serumah sama orang tua. Padahal mereka udah gede dan punya penghasilan sendiri, lho! Memang ga salah, siapa sih yang ga mau kumpul terus sama keluarganya? Mungkin dengan alasan “serumah aja, biar deket” atau “kalo ngekos di kota lain, nanti ngeluarin biaya lebih, kalau di rumah sendiri kan gratis”.
Baca juga: Jangan Hidup Untuk Membahagiakan Orangtua
Ini menjadi aneh ketika ingin sukses lebih dari generasi sebelumnya, namun ingin tetap berada di zona nyaman, contohnya tinggal bersama orang tuanya. Tapi akan menjadi cocok karena generasi millenials ini emang dasarnya malas, punya ketakutan tersendiri sama masa depannya, dan ingin semuanya serba instan, termasuk pengen cepet sukses.
Pertanyaannya, gimana mungkin kita melebihi orang tua kita secara psikologis (pada tingkat kematangan dan kebahagiaan) melalui pekerjaan yang kita lakukan? Apakah itu dengan cara menepikan kesalahan pola pikir dan kekurangan dari generasi-generasi pendahulu kita?
Mungkin kita merasa bisa jadi ‘lebih’ dari orang tua, ketika bisa memenuhi apa aja yang jadi kekurangan mereka. Contohnya, ketika dulu Ayah atau Ibu memiliki ketakutan tersendiri karena keadaan finansial yang ga stabil, sehingga beliau memiliki prinsip bahwa hidup aman adalah punya pekerjaan. Maka ini kita jadikan patokan bahwa ‘saya udah dapat karir yang mapan dan kestabilan finansial, artinya saya udah lebih sukses daripada orang tua’.
Baca juga: Jangan Asal Nurut Orangtua
Pilihan karir pada tingkat tertentu didorong oleh keinginan menyembuhkan aspek psikologi orang tua kita. Hingga pada akhirnya, pilihan karir ini merupakan upaya untuk mengimbangi beberapa kelemahan dan kebingungan dari kehidupan orang tua. Dampaknya, hal-hal yang belum kita capai saat ini bakal dijadikan PR untuk anak-anak kita kelak dan generasi penerusnya.
Ini jadi semacam siklus up & down-nya kehidupan. Sama kayak ekonomi, yang bekerja pada siklusnya yang emang harus naik dan turun. Inflasi yang bakal naik terus, suku bunga yang ga bakal stabil, pengaruh nilai tukar mata uang asing, dan hal-hal lain yang bikin semuanya ga akan pernah stabil. Namanya kehidupan ya harus naik turun, kan? Kalo stabil terus di garis lurus namanya kematian, dong.
Jamannya kan udah beda. Jadi, daripada kita kurangajar membandingkan lebih suksesan kita atau orang tua? Mending kita bikin definisi sendiri gimana cara mencapai sukses itu sesuai dengan visi dan life goals kita. Apakah sukses itu? Bisa jadi, sukses adalah sanggup memenuhi kebutuhan, punya prestasi banyak, dapet kerja sesuai passion, atau materi berlimpah. Jadi sukses jangan diartikan sama bisa hidup enak aja ya, tapi juga pikirin gimana nanti bisa mati enak. Lah kok, mati enak? Ya gimana caranya ilmu yang udah kita pelajari selama ini, tumpukan koleksi sertifikat dan ijazah, atau tenaga dan materi yang ada, bisa memperkaya diri kita dan orang lain dengan memberikan banyak manfaat. Gerak dan peran besar kaum muda Indonesia sangat diperlukan buat menjadikan negeri ini lebih merdeka. Dan jauh lebih penting, kita harus dapat menemukan alasan kenapa kita harus hidup sukses? Pastikan bahwa jawabannya juga harus memaksimalkan kebahagiaanmu dan memberikan manfaat yang banyak ya!
Baca juga: Sebuah Catatan dari Orangtua: Siapa Idola Anak-anak Sekarang?
Image header credit: sarahleeregisterednurse.files.wordpress.com