Bergembiralah. Tidak seperti koran, tanda-tanda kematian TV di masa depan belum tampak. Sebaliknya, horison terlihat cerah bagi industri TV. Di Amerika Serikat (AS), rata-rata kepemilikan TV adalah 2,93 per rumah tangga dan 55% rumah memiliki TV lebih dari 2. Jumlah waktu yang dihabiskan audien menyaksikan konten TV juga semakin meningkat. Tidak seperti industri media tradisional lain yang menunggu kimat karena digerus internet, TV sangat elastis.
TV belum akan punah. Hanya stasiun TV yang akan mati. Seluruh konsep TV broadcasting yang berlaku saat ini segera hilang disapu badai internet.
JELANG KIAMAT TV LINEAR
Ketika masih kecil, ayah saya sering merekam acara TV malam dengan Video Beta. Anak-anak harus tidur, tapi ia berbaik hati agar para bocah di rumah tak ketinggalan acara kesukaannya. Esok siang setelah pulang sekolah kami menonton video rekaman siaran itu. Berdebar-debar di depan TV menjelang jam tayang acara menarik juga adalah bagian dari masa kecil kita. Dulu kita hapal jam tayang Mac Gyver, Knight Rider, Tak Tik Boom, Doraemon sampai Aneka Ria Safari.
Segalanya sudah berbeda pada putra saya yang berusia 7 tahun. Ia dengan leluasa memilih acara TV yang ia suka tanpa terikat waktu. Dengan TV On Demand (OD) yang berbasis Internet Protocol TV (IPTV) yang kami miliki di rumah, ia bisa memutar ulang siaran Ipin & Upin atau Adit, Sopo, Jarwo kesukaannya yang ditayangkan malam sebelumnya. Bisa diulang-ulang, di-pause, di-forward, di-rewind dan dihentikan kapan saja. Begitu juga ketika kami sekeluarga menonton film dari channel penyedia film bagus seperti HBO, FOX atau Cinemax. Tinggal pilih judul film yang disukai lewat TVOD atau Video-OD (VOD), kemudian ditonton kapan saja. Tak ada lagi kegiatan menonton live TV di rumah ini, apalagi menonton iklan. Di Indonesia sudah lama bermunculan penyedia jasa TVOD dan VOD berbasis IPTV seperti UseeTV, MNC Play, First Media, Netflix dll dengan tarif bulanan yang fair. Sejak berlangganan TVOD/VOD kami mencopot antena dan berhenti berlangganan TV kabel.
Baca juga: Cara Biar Televisi Nasional Maju: Matiin TV Lo!
Internet adalah sesuatu tentang kontrol yang kini dipegang oleh setiap penggunanya. Di Facebook kita bebas memilih teman dan memblokir konten. Di Twitter kita selalu bisa memilih siapa yang layak kita follow. Di Youtubekita hanya akan menyaksikan video yang kita minati. Hal tersebut bertolakbelakang dengan konsep TV linear yang kita kenal selama ini yang disediakan oleh hampir semua stasiun TV di dunia. TV linear mentransmisikan semua program acaranya secara langsung dan terjadwal. Audiens tak punya kontrol apapun, kecuali memilih kanal TV. Pelanggan TV kabel menyia-nyiakan uangnya dengan berlangganan sekian banyak paket kanal yang tak pernah mereka tonton.
Ketika TVOD/VOD hadir, ia tak semata-mata menjadi sebuah pengalaman baru dalam menonton TV. Yang terpenting ia menyerahkan kontrol penuh atas konten dari stasiun TV kepada user untuk dipersonalisasi.
Perlahan tapi pasti, OD membunuh TV linear. Laporan dari Nielsen, rata-rata audien TV linear menghabiskan 1 jam 50 menit per hari di depan TV. Sedangkan audien OD menghabiskan 2 jam 45 menit per hari. Stasiun TV ABC, CBS dan NBC berhasil mengeduk 50 juta audien di tahun 1980. Dua dekade kemudian angkanya jatuh ke 22 juta orang yang rata-rata berusia 60 tahun.
Baca juga: Chicken-and-egg Dilemma di Perfilman Kita
Ericsson ConsumerLab TV & Media Report 2015 mendapati konsumen OD menghabiskan waktu 6 jam per minggu menyaksikan konten OD. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan 4 tahun sebelumnya. Konten tak lagi hanya disaksikan di TV, tapi juga di mobile device. Sehingga audien tak lagi terikat dengan tempat — hanya menyaksikan OD di TV rumah misalnya — karena penyedia OD telah menyediakan platform berbasis cloud. Seperti Netflix dan Hulu. Generasi yang mengonsumsi konten TV dari mobile device ketimbang layar TV adalah mereka yang berusia 16-24 tahun. Sedangkan generasi berusia 25-34 tahun hanya 50% lebih sedikit yang menyaksikan konten dari layar TV.
Baca juga: Kekuatan Brand Plus Kekuatan Video, Bisa Bikin Apa Sih?
Tahun 2001 pernah diadakan survei di AS dengan pertanyaan: pilih mana, lebih baik kehilangan akses TV atau akses internet? Ketika itu 72% responden memilih lebih baik tak punya akses internet. 8 tahun kemudian, angka 72% itu jatuh ke 49%. Karena TV hanya menawarkan konten TV. Sementara internet tak hanya menawarkan konten TV. Ia turut menyediakan kontrol, interaksi, mobilitas, content creation, ilmu pengetahuan, personalisasi — segala sesuatu yang memberi tenaga kepada pengguna.
Ketika terjadi gelombang migrasi audien besar-besaran dari TV linear ke OD, stasiun TV linear masih berjibaku dengan biaya investasi dan operasional yang sangat tinggi. Mereka perlu banyak uang untuk memproduksi atau membeli program TV demi mengisi jadwal. Membiayai operasional, membeli perangkat siaran sampai membangunbase transceiver system (BTS) sampai menyewa satelit untuk menjangkau lebih banyak audien. Di sisi seberang, hanya berbekal sebuah kantor yang tak begitu besar dengan biaya operasional bak bumi dan langit bila dibandingkan stasiun TV linear, penyedia OD seperti Netflix terus-menerus ‘merampok’ pendapatan stasiun TV.
Baca juga: Kok Bisa?, Channel Youtube Edukasi Pertama di Indonesia
AKHIR KEMESRAAN PENGIKLAN DAN STASIUN TV
“Jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami,” ujar semua pembawa acara TV sebelum jeda iklan.
Kalimat yang tepat sebenarnya adalah: “Jangan kemana-mana, saksikan dulu iklan berikut ini.”
Model bisnis paling lumrah dalam industri stasiun TV adalah menjual konten kepada pengiklan. Hanya dari iklanlah mereka bisa hidup. Nilai pasar iklan televisi di dunia mencapai US$ 70 miliar atau Rp 980 triliun, masih yang terbesar dibanding media lain. Namun dengan berpindahnya audien dari TV linear ke OD, siapa juga yang masih mau menyaksikan iklan? Kita menyaksikan TV karena ingin menonton program acara, bukan menonton iklan.
Ketika di TV linear pun audien melewatkan iklan, di OD hampir bisa dipastikan semua orang melakukan skip ataufast forward setiap iklan tayang. Celaka sekali ini. Kiamat bagi pengiklan TV sama dengan kematian stasiun TV. Masih ditambah lagi dengan kebangkitan industri OD yang bebas iklan seperti Netflix yang sampai tahun kemarin pelanggannya sudah 70 juta orang.
Baca juga: Jualan Film Itu Gak Cuma Tentang Jualan Tiket Screening
Situasi ini menghadapkan pengiklan atau biro iklan dalam situasi paradok: satu sisi audien TV meningkat, di sisi lain mereka semakin punya kontrol tak ingin menyaksikan iklan. Ketika audien TV linear pindah ke OD, audien OD tak mau menyaksikan iklan. Mau tidak mau pengiklan mulai membagi anggaran iklan mereka ke OD dan menggerus porsi untuk TV linear. Youtube saja di tahun 2015 telah berhasil mendapat bagian dari kue iklan itu sebesar US$ 1,62 miliar atau Rp 22,6 triliun.
TV linear juga makin kehilangan rating yang otomatis kehilangan pemasukan dari iklan. Kelompok stasiun televisiViacom, 21st Century Fox, Comcast yang memiliki NBCUniversal dan Walt Disney tahun lalu melaporkan penurunan pendapatan iklan di semua stasiun TV jaringan mereka. Jumlah penonton turun 18% berdasarkan data Nielsen. MTV turun 14% dan Nickelodeon jatuh 17%. Sementara audien pada program prime time turun 7% yang otomatis mengiringi penurunan jumlah audien dan rating adalah pemasukan iklan.
“Angka ini adalah penurunan terbesar yang pernah kami saksikan,” kata Moffet Nathanson, analis industri Viacom.
“Sudah makin tampak telah terjadi pergeseran besar dalam industri TV,” Philippe Dauman, CEO Viacom, menambahkan.
Hal yang sama juga diamini oleh Jeff Bewkes, CEO Time Warner yang memiliki HBO dan CNN sambil mengatakan industri TV sedang berpindah ke OD. Todd Juenger dari Bernstein Research punya prediksi lebih mengerikan.“Generasi OD tidak akan kembali ke TV linear. Migrasi telah terjadi secara struktural,” ucapnya.
Baca juga: Q&A: Benny dan DSLR Cinematography Indonesia, Menyebarkan Karya dengan Berbagai Cara
Amir Kassaei, Chief Creative Officer Omnicom’s DDB Worldwide, sebuah biro iklan raksasa dunia, mengatakan TV akan tetap jadi salah satu medium utama membangun brand awareness dan mengumpulkan audien. Tapi, perubahan besar perilaku audien terhadap TV membuat mereka sangat hati-hati dalam memilih medium untuk menjangkau pemirsa.
“Kita harus mendefinisikan ulang soal apa itu TV. TV sudah lebih dari sekedar gambar bergerak,” tegasAmir.
Artikel ini ditulis oleh Hilman Fajrian dan sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana.
Image header credit: intelfreepress.com