Belakangan ini, ada satu profesi yang mulai banyak dikepoin dan diminati banyak orang, yaitu voice over (VO) talent. Hal ini gak lain karena banyaknya konten-konten yang dibagikan para VO talent di media sosial seperti Instagram atau TikTok. Walaupun begitu, ternyata masih banyak ketimpangan dan kerancuan di industri satu ini.
Nah, beberapa waktu lalu tim Ziliun berkesempatan buat ngobrol bareng Jatmiko Kresnatama selaku Co Founder dari Inavoice, salah satu digital start up yang bergerak di bidang voice over agency dan audio marketplace. Inavoice hadir untuk menjembatani voice over talent dengan berbagai klien yang membutuhkan produk voice over.
Untuk lebih lanjutnya, yuk simak wawancaranya di bawah ini!
Bagaimana awal mula berdirinya Inavoice?
Invoice berdiri sejak 1 September 2020 oleh saya sendiri (Jatmiko Kresnatama) bersama Fajar Risna Rosedra, Indar Adhi Kusuma dan Henry Yunan Lennon. Kami merasa di industri VO terjadi banyak ketimpangan. Jika kita bandingkan dengan industri film atau musik, di industri VO sendiri belum ada standarisasi dan masih sangat banyak kerancuan. Belum ada win-win solution untuk VO talent maupun client. Oleh karena itu, Inavoice berharap dapat menjembatani hal itu agar talent mendapatkan hak yang tepat dan client juga bisa mendapat hasil VO yang terbaik.
Apa saja kegiatan yang dilakukan Inavoice?
Karena basic-nya agency, Inavoice membuka platform untuk VO talent yang terpilih dengan kualitas yang terpilih juga untuk bergabung bersama Inavoice melalui VO agency-nya. Karena kami membuka platform, kami sangat berjuang di ranah SEO dan digital platform-nya. Bagaimana kami bisa begitu berkembang melalui SEO, termasuk dengan menghubungi Ziliun.
Selain berfokus pada SEO, Inavoice juga berfokus pada pengembangan client dan talent melalui konten yang kami bagikan di media sosial. Untuk talent kami selalu memberikan informasi edukatif melalui beberapa blogging platform (Medium atau Kompasiana) dan blog kami sendiri (inavoice.com). Kami selalu memberikan informasi terbaru mengenai VO seperti tips dan trik, peralatan, cara membaca yang baik dan sebagainya. Inavoice juga sedang merencanakan offline event seperti workshop ataupun sharing session mengenai VO di beberapa coffee shop khususnya di Jogja.
Untuk klien, kami selalu menekankan apa yang klien butuhkan melalui VO itu sendiri. Karena, kadang beberapa klien yang menggunakan VO pun belum mengetahui atau lupa akan esensi VO itu apa. Bahwasanya VO itu adalah penyampai pesan, dan itu bisa tersampaikan melalui beberapa proses branding yang dia lakukan melalui konten audio visual dan di dalamnya terdapat VO Hal itu harus kita perhatikan dengan seksama. Siapa penyampai pesannya, pesannya seperti apa, cara membacanya seperti apa. Selama ini belum banyak media yang memberikan informasi tentang itu, sehingga kami mencoba meng-cover itu.
Baca juga: Ziliun Ngobrol dengan Startup Korea, Ternyata Mereka Gak Peduli-peduli Amat dengan Drama Start-Up!
Biasanya untuk VO talent sendiri didapatkan dari mana saja?
Orang-orang mulai aware dengan profesi VO talent itu sejak tahun 2015. Sebelum tahun 2015, terms penyebutannya selalu sama yaitu narator baik itu dubber, VO talent atau pengisi suara untuk iklan. Kesadaran itu makin kuat lagi setelah di tahun 2020 banyak orang yang terkena lay off dan punya kemampuan berbicara di depan mikrofon dengan baik sehingga mereka mulai untuk tertarik menjadi VO profesional.
Sampai saat ini, Inavoice belum pernah mencari VO talent. Ada beberapa VO talent yang memang punya relasi bagus dan tahu kualitas mereka. Tapi setelah berdiri, lebih banyak orang yang mendaftar sendiri untuk jadi VO talent. Cukup banyak orang yang mulai menyukai dunia ini dan mendaftar melalui Inavoice. Data terakhir ada 300-400 contoh voice over dari masing-masing talent. Dalam sehari bisa bertambah 50-70 orang.
Biasanya klien seperti apa yang butuh jasa VO?
Ada pergeseran segmentasi sebelum dan sesudah pandemi. Sebelum pandemi, semua brand yang membutuhkan produk audio visual pasti membutuhkan VO untuk menyampaikan pesan. Jarang sekali audio visual yang non suara manusia atau VO.
Setelah pandemi, karena banyak company yang memotong budget marketing, produksi produk audiovisual ini juga terpotong jumlahnya dalam setahun, dan berdampak di penggunaan VO. Nah, sejak 2020, mulai banyak konten non audio visual yang beredar karena hal ini.
Klien yang terdampak dan memotong budget marketing, biasanya langsung datang ke VO talent sendiri tanpa melalui agency. Mungkin dari segi peralatan jadi kurang standar walaupun sebenarnya hal itu bukan menjadi masalah.
Sedangkan untuk klien yang tidak terdampak dengan pandemi tentunya akan mencari kualitas VO talent yang terbaik untuk produk mereka. Jadi, mereka menghubungi agency-agency seperti Inavoice karena kami menjamin kualitas. Contohnya ecommerce seperti Shopee, Bank Indonesia, S26 Wyeth dan sebagainya.
Untuk produksi voice over biasanya dilakukan di mana?
Inavoice punya studio sendiri khususnya untuk talent-talent di jogja yang ingin melakukan perekaman. Untuk di luar jogja, biasanya Inavoice punya satelit studio ataupun rekanan studio yang sudah kita ketahui kualitasnya. Sehingga talent di luar jogja tetap bisa mendapatkan peralatan yang sesuai.
Apa cerita menarik di balik industri voice over ini?
Sebagai orang yang sudah lebih dari 11 tahun ada di industri ini, mulai dari audio engineer hingga akhirnya membuat agency sendiri, ada beberapa hal menarik yaitu:
Pergeseran terms narator menjadi voice over
Semakin orang aware dengan profesi ini, dan paham kalau profesi ini berbeda dengan narator, dubber dan lainnya, kita semakin membuka peluang banyak orang untuk dapat pekerjaan yang paling tepat untuk dirinya.
Ketika semua pekerjaan seperti ini disebut dengan narator atau pengisi suara, sebenarnya kita menyempitkan peluang kerja orang di bidang ini. Karena belum tentu dubber bisa menjadi VO talent dan sebaliknya.
Semakin banyak orang yang aware dengan profesi ini
Perkembangan media sosial yang masif sangat menunjang hal ini. Ternyata banyak orang yang tertarik dan berminat dengan konten-konten voice over yang banyak di media sosial. Artinya profesi ini menjadi hal yang menarik untuk banyak orang dan banyak orang yang tertarik untuk menjadi VO talent setelah mereka speak up di sosmed.
Belum banyak VO talent yang bisa menentukan rate card pribadi
Belum semua VO talent itu bisa menentukan rate pribadi mereka dan kadang dimanfaatkan banyak orang untuk menggunakan jasa mereka tanpa memperhatikan kelayakannya terhadap talent. Banyak yang baru-baru menganggap tidak masalah untuk mendapat bayaran murah ditambah dengan alasan menambah portofolio.
Padahal bagaimana mereka akan step up the game. Karena jika sejak awal sudah mengerjakan VO secara gratis atau dengan rate murah, tentunya porto itu ketika mereka bawa ke klien lain akan minta harga murah. Talent baru khususnya belum banyak memiliki kesadaran ini. Sebagai VO talent itu harus punya daya saing dan daya jual yang lebih tinggi daripada di-abuse oleh klien ataupun agency lainnya.
Dengan makin banyak orang berprofesi VO talent, apakah mempengaruhi demand di pasaran?
Sejak pandemi, demand terhadap VO cenderung menurun. Tapi, perlu kita pahami bahwa demand pasar untuk VO ini sangat luas bila kita bisa improve skill. Karena yang mencari jasa VO itu bukan hanya dari Indonesia, tapi juga internasional. Dari seluruh dunia, terhitung hanya sekitar 180 VO agency yang benar-benar bisa mem-provide kebutuhan dari seluruh pembuat konten audio visual. Dengan jumlah VO talent di seluruh dunia yang sangat banyak.
Tapi, adanya trend baru yaitu lokalisasi konten, mereka hanya men-dubbing atau pengisi suara di produk mereka sesuai dengan target pasar mereka yang terbaru. Jadi, walaupun di indonesia secara umum menurun, tapi skala global permintaannya masih cenderung stabil.
Apa harapan untuk industri voice over di Indonesia kedepannya?
Karena sejak awal berdiri, Inavoice mengharapkan agar industri ini menjadi lebih baik. Itu jadi satu campaign kami yaitu “you deserve better”. Siapa yang ingin kita perlakukan lebih baik?
Pertama, Talent harus lebih baik mendapat perhatian lagi dengan rate yang paling tepat untuk dirinya. Kami setidaknya mencoba memberi edukasi agar profesi ini bisa menjadi main job untuk mereka dan bukan lagi menjadi side atau part time job. Kedua, Klien dengan selalu berusaha memberikan produk audio yang paling baik untuk mereka.