Ngomong-ngomong soal startup, kayaknya udah banyak banget petuah yang bilang bahwa visi itu harus dibangun dari awal. Gak cuma dibangun, visi juga wajib ‘diumbar’ ke orang lain.
Eits, nanti dulu. Gak usah mikir kejauhan bahwa kita itu perlu memamerkan visi ke semua orang lalu ujung-ujungnya ide kita dijiplak seenaknya. Enggak. Tapi coba pikirin, ketika kamu udah niat mau bikin startup dan ngajak beberapa orang terpercaya untuk gabung di tim, tapi mereka malah planga-plongo gak tahu apa tujuan kamu. Tentu aja ini gak bagus.
Visi bisa dibilang ‘haram’ hukumnya kalau dipendam sendiri. Tentu ini make sense, karena mau jadi apa jika sebuah startup enggak punya fondasi kuat dari visi sang pendiri?
Beberapa waktu lalu saat ngobrol-ngobrol sama Andreas Aditya yang mendirikan Nebengers, dia berbicara pandangannya tentang visi.
Ada poin menarik dari pendapatnya. “Ada orang yang gak bisa one man show,” katanya.
Pemimpin itu gak harus jadi specialist kok. Malah, harusnya generalist. Maksudnya, bakal lebih keren kalo kompetensi kamu itu lebih luas supaya bisa lihat permasalahan dan hal lainnya dari berbagai sisi. Dari sini, kamu bisa memetakan visi apa saja yang akan dicapai dari solusi sebagai pemecah masalah.
“Ketika banyak keyakinan, pasti banyak keraguan. Harus terus bisa meyakinkan diri sendiri. Musti banyak ngobrol sama orang lain dan brainstorming dengan mereka sebelum eksekusi,” kata Andreas.
Baca juga: Jangan Bangun Startup Kalau Ngga Punya Visi yang Jelas
Ya, jangan mentang-mentang kamu menyandang status sebagai founder alias pendiri merangkap CEO, lantas kamu memendam visi dan berlagak paling tahu segalanya. Visi wajib hukumnya di-share dengan tim sendiri agar mereka juga bisa memberi masukan.
Selain banyak ngobrol sama orang, Andreas juga menyarankan ‘stalking‘ alias belajar dari media sosial para founder lain yang sekiranya doyan berbagi tentang pengalaman jatuh-bangun merintis startup.
Nebengers yang sudah hadir sebagai komunitas di Twitter pertama kali pada Desember 2011 ini emang mau ngasih solusi berbagi kendaraan untuk warga perkotaan.
Andreas sendiri ngaku punya visi besar untuk usaha rintisan yang dia besut ini. Muncul pakai konsep sharing economy, Andreas mau Nebengers jadi startup yang punya identitas budaya bangsa yang lekat dengan gotong-royong.
“Sharing economy itu istilah yang fancy. Maknanya sendiri adalah gotong-royong. Jadi aktivitas gotong-royong ini semoga ke depannya tidak hilang dari serbuan teknologi,” sambungnya.
Lelaki yang ingin dikenang sebagai Bapak Kolaborasi Indonesia ini juga bocorin tips nyebarin visi ke orang-orang di sekitar. Jawabannya, manfaatin media sosial yang bertebaran seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Misalnya untuk Nebengers, key message yang disebarin itu harus berbau “kegotong-royongan” supaya masyarakat tahu bagaimana startupnya bekerja sama mencari solusi untuk transportasi.