Gerakan Perempuan Muda Sadar Iklim dalam Girls Leadership Programme on Climate Change 2022 – Bumi, sebagai satu-satunya planet yang bisa ditinggali manusia di tata surya ini semakin terancam seiring arus kemajuan peradaban manusia. Sampah-sampah bertebaran dari selokan hingga laut, penebangan hutan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan umum, polusi udara makin memburuk di kota-kota besar, baru sebagian dari segudang masalah yang ada. Tapi tau gak, sih, kalo masalah-masalah ini udah lebih dari cukup buat memperparah kondisi bumi kita yang emang udah tua. Dampaknya?
Yang paling kerasa dalam kehidupan kita pun ada banyak. Mulai dari suhu bumi yang semakin memanas, sering terjadinya cuaca ekstrim, hingga kenaikan permukaan laut yang mengancam kehidupan manusia di bumi.
Berdasarkan hasil riset dari The Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2007, sejak tahun 1850, bakal ada sekitar 12 tahun terpanas berdasarkan suhu permukaan global. Nah, 12 tahun tersebut terjadi dalam kurun waktu 12 tahun terakhir.
Menurut data terbarukan oleh NASA dan NOAA, tahun 2021 adalah tahun terpanas keenam selama sejarah pencatatan cuaca yang dimulai dari tahun 1880. Kenaikan permukaan air laut pun cukup memprihatinkan. Selama periode 1961-2003, kenaikan air laut rata-rata bahkan mencapai 1,8 mm per tahun! Pemanasan global jelas bakal jadi masalah yang mengerikan kalo manusia masih aja ogah menyadari dampaknya.
Lebih lanjut, pemanasan global dan perubahan iklim juga berdampak kepada kaum marjinal, utamanya adalah anak perempuan yang kerap kali harus menanggung beban berlebih yang seharusnya gak ia tanggung.
Satu hal yang perlu jadi concern kita bersama, menurut Plan International, perempuan yang hidup di dalam kelompok marjinal cenderung lebih rentan daripada laki-laki dalam menghadapi dampak pemanasan global seperti krisis pangan, bencana alam, dan krisis lingkungan. Misal, di lingkungan marjinal beberapa negara berkembang, perempuan sering gak bisa dapetin pendidikan layak, ngadepin pernikahan dini, kekerasan, bahkan perdagangan manusia!
Girls Leadership Programme on Climate Change 2022
Nah, sebagai salah bentuk kepedulian terhadap ancaman perubahan iklim dan untuk memupuk kesadaran perempuan dalam aksi menyelamatkan lingkungan, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pun mengadakan Girls Leadership Programme on Climate Change 2022 yang diikuti oleh 24 girl leaders.
Program ini mengundang beberapa pemateri berpengalaman di bidangnya. Ada Melati Riyanto Wijsen (Pendiri YOUTHTOPIA dan Bye Bye Plastic Bags), Aeshnina Azzahra Aqilani (Co-Captain River Warrior), Rory Asyari (Jurnalis Senior), dan Swietenia Puspa Lestari (Pendiri dan Direktur Divers Clean Actions). Tujuan program ini gak lain adalah untuk melibatkan para perempuan muda dalam meningkatkan pengetahuan serta kapasitas mengenai isu perubahan iklim.
Di program ini, seenggaknya ada sekitar 24 dari 337 perempuan yang lolos seleksi yang mewakili 23 kabupaten/kota dari 12 provinsi. Salah satunya adalah Della, pelajar dari Bengkulu yang begitu antusias mengikuti rangkaian acara. Della yang berkecimpung sebagai salah satu ketua organisasi di kampusnya, merasa kelas mentoring yang diadakan gak cuma berkisar pada materi kesetaraan gender dan lingkungan, tetapi ada juga wawasan lainnya yang dia dapat seperti cara membuat proposal dan public speaking.
“Materi-materi yang disampaikan sangat membantu Della yang memiliki peran sebagai leader organisasi,” ujarnya.
Baca juga di sini: Bisa Dilatih! Ini Dia Skill Leader yang Berkualitas!
Cerita Della dan Aksi Gowes to School
Dari dulu, Della sadar banyak perilaku manusia yang berimbas negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, dia mulai mengurangi gaya hidup yang merusak dan mulai memperbaiki hubungannya dengan alam seperti menanam pohon, membersihkan sampah di pantai, dan lain sebagainya.
Namun demikian, barangkali hampir sama seperti kebanyakan kita, Della baru banget tau bahwa dampak krisis iklim bisa berimbas ke para perempuan, terutama di Indonesia. Ada yang harus putus sekolah karena kondisi lingkungan yang gak memungkinkan, ada juga yang harus “ngalah” sama anak laki-laki lantaran anak laki-laki dianggap lebih mumpuni, bahkan karena alasan ekonomi seorang perempuan muda harus menikah dini. Nah, dengan menjadi peserta Girls Leadership Programme, pengetahuan Della pun semakin tercerahkan.
Selain materi, tantangan selanjutnya jelas adalah mengimplementasikan pengetahuan yang telah didapatkan saat GLP. Della pun berkesempatan untuk membuat aksi mengurangi polusi udara melalui gowes to school, sebuah kampanye untuk bersepeda ke sekolah ataupun kampus.
“Sesuai dengan peraturan dari Kemendikbud yang mana penerimaan pelajar menggunakan sistem zonasi, yang berarti jarak sekolah dan rumah menjadi lebih dekat, hal tersebut menginisiasi saya untuk membuat gerakan ini.”
Perubahan iklim apa yang paling kerasa? Della mantap menyebutkan cuaca yang berubah dan musim yang tak menentu. Kadang panas menyengat, kadang hujan deras.
Sedikit informasi, dalam buku Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, mengutip dari pendapat Antoyo Setyadipratikto, dampak dari perubahan iklim dapat mencakup hampir seluruh sektor kegiatan seperti pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, kesehatan, dan lain sebagainya yang umumnya dampak tersebut menimbulkan kerugian yang signifikan.
“Apalagi kan saya tinggal di daerah yang secara geografis cukup rentan bencana. Di Bengkulu itu dikelilingi sama sungai jadi semisal hujan dikit aja udah banjir, dan itu sangat berdampak banget sama masyarakat di sini,” kata Della. “Sampai saya waktu itu enggak bisa ke kampus karena banjir, padahal hujan tidak terlalu deras,” tambahnya.
Faktanya, IPCC tahun 2007 telah membahas beberapa kemungkinan, salah satunya adalah pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang nantinya akan menimbulkan bencana iklim yang lebih besar. Belum lagi masalah alih fungsi lahan, seperti hutan yang berubah menjadi kebun sawit yang berdasarkan laporan dari Greenpeace Indonesia luasnya mencapai 16,24 juta hektar se-Indonesia. Dilihat sekilas, kebun sawit emang berhasil menyerap banyak tenaga kerja dan membantu perekonomian negara, tetapi sawit juga berkontribusi akan deforestasi besar-besaran, hilangnya habitat hewan, merusak ekosistem lingkungan, dan lainnya. Parah? Jelas.
Selama Della mengikuti GLP, dirinya banyak berkenalan dengan perempuan muda lainnya dari berbagai daerah di Indonesia, ada yang dari daerah timur seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Sulawesi Utara. Dirinya juga senang mendapat relasi yang sepemikiran, yang suatu saat bisa diundang ke dalam komunitas yang Della ikuti.
Baca juga di sini: Memaafkan Diri Sendiri adalah Awal untuk Hidup Lebih Baik, Caranya?
Anak Muda Lainnya Bisa Apa?
Beralih ke anak muda lainnya–termasuk kita–kira-kira apa aja ya kemampuan dan pengetahuan yang harus dimiliki untuk mengatasi perubahan iklim, sehingga isu tersebut gak jadi angin lalu aja? Apalagi kalau kita berkesempatan menjadi pemimpin yang bisa mengambil kebijakan?
Menurut Della, salah satu yang terpenting adalah empati. Bencana karena perubahan iklim mungkin gak bakal terlalu terasa bagi mereka yang duduk di rumah yang nyaman dan dikelilingi oleh berbagai fasilitas, tapi gimana dong sama mereka yang kurang mampu?
Jelas diperlukan empati dan juga penanganan sesuai standar untuk mereka yang terdampak bencana, selain berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Lingkungan yang positif akan menumbuhkan semangat yang positif, women support women salah satunya adalah hasil dari lingkungan yang sudah teredukasi dengan baik.
Di sisi lain, Direktur Plan Indonesia, Dini Widiastuti dalam sambutannya pada Dialog Nasional GLP 2022 menyatakan bahwa perubahan iklim dan resiliensi masuk dalam salah satu dari tujuh pilar program yang dicanangkan oleh Yayasan Plan International Indonesia.
“Langkah ini tentu bukan yang pertama kali yang dilakukan oleh Yayasan Plan Indonesia karena sebelumnya sudah ada kegiatan atau aktivitas dengan kelompok-kelompok lain, dan tentunya bukan yang terakhir,” tegasnya.
“Dan untuk itu kita ingin sekali bisa bekerja sama lebih banyak lagi dengan mitra-mitra, terutama kelompok-kelompok anak muda, universitas, dan tentu saja para inspirator-inspirator yang sudah banyak memiliki pengalaman di dalam meningkatkan resiliensi dan perubahan iklim.”
Yayasan Plan International Indonesia yang dalam komitmennya adalah untuk memastikan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan terpenuhi, acara GLP yang kedua ini diharapkan dapat memicu pertumbuhan kapasitas dan sifat kepemimpinan bagi anak perempuan, khususnya bagi kaum yang termarjinalkan.
Kegiatan ini telah menjangkau lebih dari 14 ribu masyarakat sepanjang kampanye melalui rangkaian kegiatan serupa. Informasi terkait rangkaian kegiatan Girls Leadership Programme lebih lanjut dapat diikuti melalui media sosial Plan Indonesia (Instagram, Facebook, dan Twitter) dan plan-international.or.id/id/.