Bapak saya, Sugeng Riyadi adalah seorang penggambar didikan alam. Bapak menguasai hampir semua bidang kesenian, baik dalam rupa, swara, maupun raga. Bapak bisa membuat komik, ilustrasi, dan mengukir wayang. Apa yang saya lakukan hari ini sebetulnya adalah kelanjutan prestasi Bapak dahulu, hanya saja saya melakukannya dengan cara yang lebih kekinian dan aplikatif. Benar, saya menjadi seperti sekarang karena gemblengan keras Bapak kepada saya (dan adik-adik saya) di masa kecil. Saya memang beruntung, lahir di keluarga yang mendukung penuh passion saya dalam bidang seni rupa. Itulah sebabnya di rumah saya sudah ada komik sejak saya SD. Saya mau bercerita sedikit tentang masa kecil saya, dan nantinya akan saya kerucutkan menuju kalimat judul artikel ini.
Saya sudah mengikuti lomba menggambar sejak umur 3 tahun. Waktu itu ada lomba menggambar di Alun-alun Kebumen yang dihadiri oleh Pak Raden dan Pak Tino Sidin. Dalam katogori anak, tak disangka sayalah yang jadi juaranya. Alasannya sederhana. Saya memenangkan lomba karena ketika peserta lain menggambar pemandangan standar, saya malah menggambar kura-kura ninja. Saya lupa siapa yang saya gambar, entah Donatello, Rafael, Leonardo, atau Michaelangelo. Yang jelas, karena kemenangan tersebut, saya jadi digendong oleh Pak Tino Sidin di atas panggung. Too bad kami yang orang tak mampu tidak bisa mengabadikan momen bersejarah tersebut lantaran tak punya tutstel.
Baca juga : Sweta Kartika, Memasukkan Unsur Indonesia di Tiap Karya
Sejak saat itu, lomba demi lomba, saya (dan adik-adik saya) ikuti. Bapak dan Ibu kami adalah garda kembar yang menjaga dan menggiring kami dari arena laga satu ke arena laga lain. Sepanjang masa kecil saya, hampir semua lomba menggambar saya ikuti. Baik itu yang diadakan resmi oleh pemerintah, seperti PORSENI dan Lomba Mata Pelajaran, atau lomba-lomba yang diadakan oleh swasta. Tidak jarang, saya dan adik-adik saya berboncengan motor beramai-ramai bareng Ibu dan Bapak menuju lokasi lomba. Tak jarang pula, Ibu saya, Lily Herliawati kelimpungan mengantar anak-anaknya ke lokasi lomba, menenteng meja gambar yang diikat dengan tali rafia. Tiap lomba, berbagai teknik dan alat gambar saya coba, dari crayon, cat air, spidol, tinta cina, mix media, sampai ke watercolour pencil. Tidak hanya seni rupa, saya dan adik-adik saya bergantian menjadi perwakilan lomba lain, seperti seni patung dan relief, bahkan sampai ke lomba menulis Kaligrafi dimana saya digembleng untuk menguasai basic line art menggunakan kuas. Semua itu kami lakukan sebelum masuk SMP, bahkan sebelum usia saya genap 11 tahun.
Tiap lomba yang saya ikuti, tidak jarang saya kalah. Saya tidak pernah iri melihat pemenang lomba menjujung tinggi pialanya saat sesi pemotretan, tapi saya kesal karena kadang gambar saya tidak sebagus gambar mereka. Dan di tiap lomba berikutnya, Bapak selalu mengujicobakan teknik menggambar baru kepada kami. Inilah nilai dari sebuah improvisasi. Kamu kalah pakai jurus ini, kamu jajal jurus lain di laga berikutnya. Itu inti pesannya. Pernah suatu ketika saya memenangkan satu lomba menggambar di Wonosobo. Waktu itu saya merasa gambar saya kurang maksimal, tapi entah kenapa saya menang dan membuat saya melaju ke Semarang. Saya berkata, “Heran, gambar saya nggak bagus-bagus amat, tapi kok saya menang ya, Pak?”. Bapak menjawab, “Jangan bangga dulu. Kamu menang hari ini bisa jadi karena anak yang paling pintar menggambar tidak ikut lomba ini.” Omongan Bapak terbukti. Di Semarang saya kalah telak. Juara harapan pun tidak.
Baca juga : Q&A: Sweta Kartika, Kunci Berkarya: Disiplin, Persistence, dan Konsistensi (1)
Saya menceritakan tentang apa yang saya alami di saat turnamen. Bagaimana dengan situasi diluar turnamen? Inilah inti ceritanya.
Bapak saya adalah figur pendidik sangat keras. Buka keras main fisik, tapi dalam kedisiplinan. Kalau dari mata saya ketika masih anak-anak, mungkin bahkan sangat militan. Dalam menggembleng saya, Bapak sudah menjadwalkan khusus kapan saya harus latihan menggambar. Tiap lomba yang saya ikuti, saya dilatih untuk menguasai alat baru dengan teknik yang baru. Saya sudah menguasai teknik watercolour pencil di saat saya masih kelas 5 SD. Crayon, spidol, cat air, dan tinta cina sudah jauh saya pahami teknisnya sebelum itu. Mengapa bisa begitu? Karena bapak saya tidak memanjakan saya. Dalam hal apapun. Ketika crayon kami kurang, hanya ada 8 sampai 12 warna, Bapak justru menuntut kami menguasai pewarnaan dengan keterbatasan warna itu. Ketika spidol warna warni yang saya dambakan harganya selangit, Bapak bukan cari hutangan buat beli spidolnya, tapi justru melatih saya dengan watercolour pencil yang relatif lebih miring harganya.
Saya tidak pernah dimanjakan dengan fasilitas mewah karena ekonomi keluarga saya di masa saya kecil memang boleh dibilang tidak mampu. Bukan hal asing lagi kalau saya bercerita harus mandi di masjid bilamana ikut lomba di kota yang jauh dari Kebumen. Bapak juga tidak memanjakan saya dalam proses. Pernah suatu ketika di sebuah lomba di Petanahan, Kebumen, saya mengeluh kecapekan. Bapak cuma menjawab, “Bapak juga tahu kamu capek, tapi kamu harus bereskan gambarmu. Kasih tahu Bapak hal yang kamu belum ngerti. Kalau capek, Bapak juga tahu kamu capek. Tanya yang kamu belum ngerti saja”. Militan. Yes. Tapi kemanjaan itu memang harus dikerasi. Gambar di artikel ini adalah sebuah ilustrasi yang menceritakan ketika saya sedang asik-asiknya main sepeda di luar, tiba-tiba Bapak menarik saya pulang untuk berlatih membuat relief untuk lomba mendatang. Kejadian ini saya alami ketika saya berusia 9 tahunan. Benar, saya berlatih sambil menangis karena keseruan saya bermain direnggut oleh jadwal latihan. Sementara itu, Bapak di belakang membimbing saya sambil merokok (sekarang sudah tobat merokoknya).
Baca juga : Q&A: Sweta Kartika, Kunci Berkarya: Disiplin, Persistence, dan Konsistensi (2)
Apa yang hendak saya sampaikan adalah: Inilah saya sekarang. Saya yang besar oleh sebuah kedisiplinan dan pentingnya bertanggungjawab akan tugas masing-masing. Setidaknya, ada beberapa nilai yang akhirnya saya dapat dari hasil gemblengan keras saya di masa kecil:
- Saya tidak gampang menyerah. Saya sudah terdidik keras untuk menjadi pengkarya yang mempertanggungjawabkan kualitas karyanya sejak masa latihan sampai saat turnamen. Bagi saya, menyerah itu sama dengan kalah. Berjuang terus supaya hasilnya maksimal, dan dengan cara itulah saya sangat menghormati proses.
- Saya tidak pernah takut melihat musuh. Bagi saya, musuh adalah saingan yang akan membakar semangat saya lebih membara lagi. Mereka, barisan jenius gambar yang selalu saya pandang silau adalah para penginspirasi yang akan menjaga perjalanan saya tetap konsisten untuk menekuni bidang ini.
- Kalah menang itu soal biasa. Dari pengalaman saya di masa kecil, kekalahan lebih banyak saya alami ketimbang kemenangan. Bagi saya, yang penting itu usahanya. Buat apa ikut lomba hanya untuk menang tapi kemenangan itu tak mengubah apapun di sisi kehidupan kita.
- Keberhasilan adalah hasil dari perkawinan perjuangan dan proses. Saya tidak mengenal sukses instan. Kemenangan sejati bukan ketika menjunjung piala, tapi ketika kita merasakan emosi demi emosi di masa kita berproses.
- Mengeluh hanya akan melipatgandakan masalah. Jauh lebih penting diam dan menelaah permasalahan untuk menemukan solusi. Itu yang saya alami setiapkali melihat gambar pemenang yang selalu lebih bagus dari punya saya.
Baca juga : 3 Hal yang Dibutuhkan Industri Komik Indonesia
Saya sedikit kesal dengan berita belakangan ini tentang orang tua yang memanjakan anaknya dengan dalih kasih sayang. Mungkin kesannya saat ini menyayangi dan melindungi, tapi saya khawatir kemanjaan itu akan menjadi bom waktu yang bisa membunuh anaknya di saat ia menghadapi kerasnya hidup di masa tua. Saya adalah generasi yang dibesarkan oleh didikan keras orangtua saya untuk tujuan baik di saat saya dewasa. Saya tidak mengatakan saya sukses, tapi setidaknya apa yang dilakukan oleh orangtua saya membuat saya terus bertahan dan melaju dengan lebih baik menghadapi kehidupan, khususnya dalam meniti karir saya sebagai Komikus Indonesia. Saya sudah terbiasa menghadapi deadline dan latihan keras sejak kecil. Ini yang membuat saya terbiasa bercengkerama dengan deadline dan perjuangan keras di masa dewasa.
Bagi yang tidak mendapatkan gemblengan di masa kecil, selamat menggembleng diri sendiri. Hanya perjuangan anda yang bisa mengubah nasib anda sendiri.
Artikel ini ditulis oleh Sweta Kartika dan sebelumnya dipublikasikan di blog Sweta Kartika.
@swetakartika adalah Komikus Grey & Jingga, Nusantaranger, H2O:Reborn, Pusaka Dewa, The Dreamcatchers, Piraku x Piraku, Spalko, dan Wanara.
Comments 1