Sejak adanya internet, akses menuju informasi dan pengetahuan bukanlah sesuatu yang eksklusif dan hanya bisa didapatkan oleh sebagian kecil orang saja. Dengan adanya Google, kita bisa mencari jawaban dari pertanyaan apapun yang sedang terlintas di kepala kita.
Hal ini sering kali menyebabkan interaksi dengan orang terdekat jadi berkurang, terutama obrolan yang membicarakan tentang hal-hal yang bersifat “trivial” atau tentang fakta yang bisa kita googling. Tidak ada lagi debat tentang di mana warung bakso terenak se-Jakarta, semuanya bisa dilihat dengan rating dari Google. Ya, walaupun selera itu tidak objektif, tapi rating bisa menjadi parameter untuk menentukan apakah kita mau makan di sana atau tidak.
Dari sekian banyak sisi positif yang bisa didapatkan dari internet, ada juga sisi gelap tentang bagaimana internet mengubah cara kita berpikir. Karena informasi bisa di akses dengan sangat instan, orang-orang pun mempunyai kecenderungan malas berpikir untuk dirinya sendiri dan mudah terdistraksi oleh notifikasi. Hal ini menyebabkan kemampuan seseorang untuk konsentrasi dan kontemplasi pun menurun drastis.
Alasan Menurunnya Kemampuan Konsentrasi & Kontemplasi
Menurut buku berjudul “The Shallows: How the Internet Is Changing the Way We Think, Read and Remember”, benang merah dari turunnya tingkat konsentrasi ini disebabkan oleh perhatian yang terbagi-bagi. Kedalaman berpikir, ingatan, bahkan kepribadian kita sangat dipengaruhi oleh kemampuan kita untuk tetap konsentrasi.
Menurut Eric Kandel, seorang neuroscientist pemenang Nobel, otak kita akan lebih mudah untuk menemukan pola yang meaningful dan sistematis dari ilmu yang kita punya ketika kita berada dalam kondisi konsentrasi penuh. Dibutuhkan tingkat asosiasi yang tinggi untuk bisa memahami konsep yang kompleks dan berpikir secara kritis.
Ketika kita terus menerus terdistraksi oleh layar komputer atau layar HP, otak kita tidak bisa membentuk jaringan saraf (neural connection) secara kuat dan luas yang memberikan kedalaman pada pemikiran kita. Kita jadi berpikir secara terputus-putus. Intinya, kita perlu fokus untuk menemukan makna dari sebuah pemikiran.
Patricia Greenfield, seorang psikolog dari UCLA, meneliti tentang pengaruh media internet dengan kemampuan kognitif seseorang. Hasil dari penelitiannya mengindikasikan bahwa beberapa kegiatan di depan komputer seperti bermain game dan menjelajah internet bisa mempercepat perpindahan perhatian kita dalam melihat sebuah objek di depan layar. Hasilnya, kita beradaptasi untuk berpikir secara otomatis tanpa sadar. Contohnya, ketika kita scrolling feed dari Instagram atau Twitter. Kadang kita hanya “melihat-lihat” saja, tiba-tiba sudah lewat 1 jam.
Dalam eksperimen yang ia lakukan, Greenfield menyimpulkan bahwa teknologi dapat mengembangkan kecerdasan visual-spasial, namun di lain sisi akan mengorbankan kemampuan kognitif lainnya.
Kecerdasan visual-spasial tersebut memperkuat kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang sensitif dengan perubahan secara cepat, seperti mengemudikan pesawat atau memantau pasien selama operasi.
Di sisi lain, kemampuan tersebut juga disertai dengan “kelemahan baru”, terutama untuk proses kognitif tingkat tinggi. Hal yang termasuk dalam proses kognitif tingkat tinggi adalah pemahaman abstrak, kesadaran, refleksi, pemecahan masalah, pemikiran kritis, dan imajinasi. Sederhananya, pemikiran manusia menjadi lebih dangkal.
Lalu apa sih implikasinya terhadap kehidupan kita?
Sebenarnya, apa yang kita korbankan dengan adanya akses instan menuju informasi adalah kemampuan kita untuk berpikir secara tenang dan memusatkan seluruh perhatian kita kepada satu hal. Kemampuan tersebut adalah dasar dari proses kontemplasi, refleksi diri, dan introspeksi.
Pada dasarnya, keberadaan internet tidak pernah memperlambat cara pikir kita, malah sebaliknya mempercepat perpindahan fokus kita sehingga susah untuk berpikir satu hal dalam waktu yang lama.
Memang, tidak ada salahnya mengkonsumsi informasi dengan cepat dan sepotong-sepotong. Kemampuan untuk scanning dan skimming sama pentingnya dengan kemampuan membaca secara mendalam dan berpikir dengan penuh perhatian. Hal yang menjadi masalah adalah ketika kita menjadikan metode skimming sebagai sumber utama memperoleh informasi.
Setelah kita membaca sesuatu sekilas, kita perlu mendalami tentang tingkat kebenaran informasi tersebut dengan melakukan perbandingan kepada sumber lain. Mungkin kita tidak sadar bahwa berpikir secara mendalam untuk diri sendiri masih diperlukan untuk bisa berpendapat secara original dan menghasilkan hal baru, tidak hanya ikut-ikutan.
Referensi: Telegraph