“Aku mah apa atuh, cuma selingkuhan kamu”
Lirik yang bikin saya heran. Heran karena lagu itu dinyanyikan sama anak-anak kelas 2 SD. Usia yang masih terlalu dini buat nyanyi lagu itu. Beda sama saya. Boro-boro paham arti kata ‘selingkuhan’, waktu SD malah ga paham apa itu ‘pacaran’. Jaman segitu mah masih asyik maen gundu sama bola bekel.
Kita semua tahu, musik itu universal. Pemersatu berbagai suku, agama, dan ras. Musik bisa mendinginkan negara yang konflik. Musik dapat menciptakan perdamaian dunia. Musik sanggup menghasilkan pundi-pundi charity dari konser amal yang digelar para musisi. Sehebat itu efeknya.
Dari beberapa aliran musik, ada satu aliran di Indonesia, yang dari dulu hingga sekarang, peminatnya luar biasa. Dangdut never die. Ada aja variasinya. Mulai dari dangdut jadul klasik, sampai dangdut remix.
Seiring dengan popularitas musik dangdut, lahir lah Generasi Dangdut (Gendang). Terlebih ketika sebuah kompetisi dangdut disuguhkan di layar kaca. Saking ngehip nya, banyak netizen Indonesia bikin meme tentang hal ini; ‘Kontes Dangdut: nyanyi 3 menit, komentarnya 30 menit’.
Baca juga: Membangun Kota Musik di Indonesia
Generasi dangdut ini ga mengenal usia, gender, daerah, atau golongan ekonomi. Contoh nyata, beberapa daerah di Indonesia, masyarakatnya punya soul of dangdut yang kuat. Sampai ada istilah untuk dangdut khas masyarakat daerah tersebut #iykwim. Ada sunatan atau pernikahan, harus manggil artis dangdut. Pemilihan wakil rakyat, biar banyak yang dateng dan nyoblos, wajib dong gelar panggung dangdut. Lomba 17 Agustus, ada kontes joget dangdut. Malam tanggal 16 Agustus, biar rame ya nyawer artis dangdut seksi. Apa korelasinya merayakan kemerdekaan dengan cara ngundang biduan bohay dan goyang terus sampai pagi? Sampai sekarang saya masih gagal paham.
Mirisnya, perayaan nasional di daerah itu meleset sasaran. Jelas dong, semua warga ikut nonton, termasuk anak-anak. Kalo sasaran yang meleset ini menjadi sering, ya hasilnya kayak peristiwa anak 2 SD tadi. Belum lagi kalo dangdut yang disetel itu dangdut koplo. Goyangan erotis, vulgar, liriknya ga jelas, cenderung mengarah ke seksualitas. Ga heran kalo generasi muda jaman sekarang banyak yang ‘minum’, judi, melakukan hal di luar batas usianya, hamil di luar nikah, aborsi, sampai pembunuhan. Generasi tua juga sama, banyak yang cerai karena adanya WIL/PIL (Wanita/Pria Idaman Lain), ujungnya selingkuh. Walau sampai sekarang belum ada yang neliti tentang, apa kaitannya mendengar lirik lagu negatif dengan meningkatnya asusila dan kriminalitas. Tapi ya.. musik memang sehebat itu dampaknya.
Baca juga: Institut Musik Jalanan Akan Rilis E-commerce bagi Karya Musisi Jalanan
Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi? Apa ini yang namanya ‘cara mengekspresikan seni’? Kenapa sih, susah banget buat masyarakat kita untuk punya pola pikir yang benar? Kebudayaan yang berkembang akan menghasilkan pola pikir dan peradaban yang maju. Hal ini tentu berpengaruh pada perubahan sosial suatu masyarakat.
Kita ga bisa memandang bahwa dangdut termasuk musik yang rendah. Musik itu ga bisa dibandingkan satu sama lain. Mau membandingkan apa? Gendang vs Saxophone? Suling bambu vs Harpa? Jelas ga bisa. Mau dibandingkan dengan musik mana? Ga ada tolok ukurnya. Rasanya juga kurang tepat jika kita mengunggulkan dangdut dengan dalih, ini budaya lokal khas Indonesia. Nanti malah jadi etnosentrisme.
Ketika sebuah kesenian disalahartikan dalam konteks memberi keuntungan pada salah satu pihak, menurut saya ini bisa masuk ke dalam ranah kapitalisme. Berkembangnya musik dangdut dijadikan objek pencetak uang, namun tidak diiringi dengan peningkatan konten yang disuguhkan. Seperti pesan moral dalam lirik, ada ciri khas budaya lokal, serta penampilan penyanyi yang baik. Di satu sisi, penyelenggara musik dangdut dan penyanyinya mendapatkan keuntungan dari hasil manggungnya tanpa memerdulikan dampaknya. Yang penting amplopannya, bos.
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia lewat Arsip Musik Digital
Bisa saja penonton berkilah, “Kami juga dapet untung, kok! Goyangan dan aksi mereka sangat menghibur.” Ya memang kelihatannya gitu. Mereka bisa cuci mata lihat biduan seksi, dapet kesempatan nyawer (syukur-syukur bisa nempel dikit sama biduannya). Tapi, efek ruginya jangka panjang. Contohnya dampak perubahan sosial di atas.
Dangdut itu budaya yang harus dilestarikan dengan cara yang baik. Bisa jadi salah satu caranya dengan kontes dangdut di televisi. Jujur, saya bukan penikmat dangdut, tapi saya prihatin dengan kondisi musik dangdut saat ini. Harusnya pemain musik, pencipta lagu, maupun penyanyinya, dapat menjadikan dangdut sebagai media yang berkualitas. Bukan dengan goyangan vulgar, lirik yang terkesan murahan, dan salah sasaran. Mari jadikan dangdut menjadi lebih ‘nyeni’. Ayo jadi Gendang yang beradab dan berbudaya. Sehingga musik dangdut bisa menjadi ciri khas Indonesia yang diapresiasi dengan baik.
Baca juga: Musisi Jalanan Kualitas Papan Atas, Berkat Institut Musik Jalanan