Sebelumnya gue pengen lo baca artikel Ziliun tentang sharing economy agar ngerti prinsip yang dipakai sharing economy, karena ada benang merah yang menyala antara sharing economy dan collaborative consumption.
Kalau lo udah baca artikel tersebut, intinya dijelaskan kalau sharing economy melepaskan sumber-sumber lama menjadi suplai yang baru buat kepentingan bersama. Dengan semakin banyaknya sharing economy yang ditawarkan sekarang ini (kayak Go-Jek dan Uber) you don’t even need to own stuffs. Punya lo, punya gue juga.
Terus benang merahnya dengan sharing economy apa? Nah, menurut Rachel Botsman, pakar collaborative economy, sharing consumption is an economic model based on sharing, swapping, trading, or renting products and services, enabling access over ownership. Jadi, collaborative economy itu bagian dari kegiatan sharing economy, yang fokusnya bukan sekadar tentang apa yang kita konsumsi, tapi lebih dari itu tentang gimana cara kita berkonsumsi.
Baca juga: Udah Waktunya Lo Ngerti Tentang Sharing Economy
Sekarang ini perilaku konsumsi orang juga udah beralih ke perilaku consumption 2.0, di mana yang tadinya hyper consumption serba apa-apa milik sendiri, jadi lebih suka barter, sewa, minjem, dan sharing. Coba deh inget-inget, pernah gak sih lo lagi butuh barang saat itu juga tapi sebenernya barang itu cuma lo pakai paling sekali seumur hidup. Kayak tenda buat camping misalnya, kecuali lo anak pecinta alam atau anak pramuka.
FYI, ada 3 sistem yang ditawarkan di collaborative consumption:
- Product service system. Contohnya BMW’s DriveNow, layanan berbagi mobil yang menawarkan alternatif untuk memiliki mobil.
- Redistribution market. Pemakaian barang kita yang udah gak terpakai untuk diambil manfaatnya oleh orang lain. Contohnya ThredUp.
- Collaborative lifestyle. Collaborative udah jadi mindset dan gaya hidup. Kolaborasi skill, pekerjaan dan modal. Seperti TaskRabbit.
Well, maksud gue di sini bukannya lebih enak minjem sesuatu milik orang lain, tapi collaborative consumption bisa mengubah dunia. Diana Verde Nieto, CEO PositiveLuxury.com, dalam tulisannya yang dilansir Huffington Post, ngasih tiga alasan kenapa collaborative consumption bisa mengubah dunia. Pertama, collabprative consumption memberdayakan individu. Tiap orang diberi keyakinan kalau setiap manusia punya nilai-nilai dan keterampilan sendiri. Dengan cara seperti itu, mengingatkan kita kalau kita harus memperlakukan para produsen barang-barang yang kita butuhkan dengan cara baik. Of course, the consumer benefits from the convenience of being able to access products and services that they may not normally be able to!
Baca juga: Vacation Rental: Berakhirnya Era Hotel Berbintang
Kedua, auntentisitas dari pertukaran itu sendiri bisa bikin dunia lebih baik. Nginep di rumah orang lain instead of hotel saat traveling, atau pakai barang bekas orang daripada beli barang baru, juga dapat menambah makna dalam hidup kita. Dengan itu, kita bisa terhubung dengan gaya hidup orang lain dan tahu pengalaman mereka, which makes our own life better and more fulfilling.
Dan yang terakhir, pastinya manfaat buat lingkungan. Kalau kita usaha mencari barang yang sebelumnya udah ada di lingkungan kita sebelum beli barang baru, pastinya akan mengurangi jumlah barang yang akan kita buang ditambah jumlah kerusakan lingkungan yang berpotensial dalam menciptakan barang baru.
Absolutely, sharing is the new owning in nowadays. Jadi, buat apa malu lagi buat punya barang yang bukan milik kita? Cheers!
Header image credit: kokonsum.org