Sabtu, 18 Mei 2019, Ziliun berkesempatan untuk mengunjungi pameran seni “Movement of Souls” yang diselenggarakan oleh Erudio School of Arts di Ekosistem Seni Rupa Kontemporer Gudskul, Jakarta Selatan. Erudio adalah sekolah non-formal setara SMA, yang berfokus pada seni visual dan desain. Mereka menggunakan metode pembelajaran aktif lewat media visual seperti proyek seni dan self-discovery.
Acara ini bukanlah sebuah pameran biasa, karya-karya yang dipamerkan adalah hasil ujian akhir semester murid-murid Erudio. Sebagai ganti ujian tertulis, sekolah ini menugaskan para muridnya untuk berkarya dalam bidang seni yang mereka kuasai. Maka, karya-karya yang dipamerkan pun sangat beragam, dari lukisan, musik, film, hingga video game.
Kusuma Khansa Tazkia sang asisten kurator yang kini duduk di kelas 8 berbagi tentang proses penentuan tema pameran. Ia bercerita bahwa tema Movement of Souls berdasar dari ide para peserta pameran tentang keberagaman pengalaman hidup manusia. Isinya beragam, ada tentang kesulitan hidup, kisah masa kecil, bahkan tentang ironinya perang. Karya yang ditampilkan membahas keberagaman jiwa manusia yang terbentuk lewat pengalaman hidup.
Salah satu yang dipamerkan adalah karya Fadhilla Arsy bertajuk “Memories”. Fadhilla menggambarkan rupa otak dengan menyusun buku-buku pelajaran, video game, dan novel di sebuah rak dinding. Ada satu buku yang soal bagaimana ia berkembang sebagai manusia dan bagaimana sebuah ingatan mulai terhapus seiring waktu. Yang ditampilkan adalah semua kenangan yang membekas dalam ingatan Fadhilla sejak kecil sampai sekarang. Dibawahnya terletak sepasang kursi nyaman untuk membaca buku tersebut.
Kebanyakan dari karya di pameran ini adalah seni avant-garde, di mana seni yang dipajang bukan hanya patung atau lukisan, namun juga bergantung pada nuansa yang dirasakan saat menikmati setiap karya. Terkesan experimental dan sangat kontemporer.
Pameran ini menampilkan lebih dari 20 karya dari 30 seniman. Beberapa karya adalah hasil kolaborasi dua seniman seperti kolaborasi Rahmania Putri dan Drake Agrajalada, “Seven Deadly Sins”. Di bagian ini, kita akan diajak masuk ke sebuah ruangan putih yang sangat sunyi. Yang terdengar hanyalah suara mengerikan dari pengeras suara. Ada tujuh pintu yang menyembunyikan lukisan dosa-dasar manusia di baliknya. Di tengah ruangan terdapat satu set kartu yang diletakkan di atas sebuah podium. Kartu-kartu tersebut berisikan beberapa aktivitas yang membuat karya ini lebih hidup.
Saat mengamati dan menelaah deretan hasil karya seniman-seniman muda ini, gue sangat terkagum akan seberapa dalam dan personal cerita yang mereka sampaikan lewat karya. Gue semakin terperanjat saat ingat bahwa para seniman ini baru berumur 16-18 tahun. Kemampuan mereka untuk menggali cerita dan membangun konsep yang dalam, lalu menerjemahkannya ke dalam bentuk visual dengan baik sangatlah mencengangkan. Gue jadi kepikiran apa yang gue lakuin waktu seumur mereka, cuma jalan-jalan, nonton dan main game seharian.
Pameran ini menginspirasi gue bahwa banyak yang bisa kita cerna dari pengalaman hidup kita. Semua hal itu bisa jadi tolak ukur kita ke depan untuk menjadi lebih baik. Alexandra Karyn, kurator pameran ini sekaligus guru Erudio bercerita, selain memberikan kesempatan para seniman muda untuk mempublikasikan karya mereka, pameran ini juga berfungsi untuk menantang diri mereka sendiri agar bisa berkembang dari diri mereka yang sebelumnya.
Tentu saja seluruh pengalaman ini dapat diaplikasikan ke dalam hidup kita. Menggali makna dari pengalaman hidup dan membuahkan karya dalam bentuk seni rupa, buku, atau bahkan sebuah startup. Merefleksikan diri kita di masa lalu dan menjadi lebih baik setiap harinya.