Banyak peristiwa yang menguji hati nurani dan empati kita sebagai manusia. Mengapa? karena di awal tahun ini, kita sudah menyaksikan bahkan gak sedikit yang mengalami peristiwa atau kejadian yang memilukan. Mulai dari jatuhnya pesawat komersil salah satu maskapai penerbangan bahkan bencana alam yang terjadi secara berurutan.
Di tengah kabar duka yang terus terjadi, antara ingin berempati, rasa ingin tahu, dan kegaduhan berita bergabung menjadi satu kesatuan. Namun yang menjadi catatan di sini adalah, terkadang kabar duka justru framing-nya menjadi kurang berempati kepada korban maupun keluarga mereka.
Empati itu ternyata gak gampang seperti yang dipikirkan, ya
Iya banget! empati bukan cuma perasaan aja, tapi ternyata butuh keahlian di sana atau bahasa lainnya adalah keterampilan. Yap, sebagaimana skill pada umumnya, berarti empati ini juga seharusnya menjadi kompetensi seseorang.
Orang yang berempati memiliki value yang lebih baik, karena bisa membuat seseorang manusia bisa “memanusiakan” manusia, serta bisa memandang sesuatu menjadi lebih humanis.
Dibutuhkan di berbagai ruang lingkup
Di manapun kita berada, empati menjadi salah satu faktor orang menjadi respect dan senang dengan pribadi kita, terus bisa juga membuat kita beradaptasi lebih mudah. Termasuk juga di ruang lingkup kerja, di sana kita ketemu dengan berbagai rekan yang memiliki latar belakang dan kepribadian yang berbeda. Di situasi seperti itu, untuk mengontrol perasaan yang kurang baik, maka kita bisa berempati untuk bisa lebih memahami kepribadian lain. Balik lagi, kita gak bisa mengontrol orang lain, tapi kita bisa mengontrol diri sendiri.
Terus yha, masih di ruang lingkup pekerjaan. Contohnya bisa gini juga, nih: ada seorang graphic designer yang punya kerjaan untuk bikin desain berita duka. Dia harus berempati dong ketika buat illustrasi, gimana menggambarkan berita duka yang pantas.
Harusnya empati jadi skill yang paling banyak dicari
Meskipun empati belum se-populer dibandingkan berbagai skill lainnya, apalagi konteksnya dalam pekerjaan. Namun, sebenarnya sih HR mulai bisa melirik skill ini, karena kalo udah berempati, skill lainnya bakal ngikut juga. Misalkan, untuk jadi pemimpin yang baik, gak bisa lepas dari sikap berempati kepada bawahannya, untuk bisa kerja bareng tim, butuh banget tuh empati antar satu sama lain.
Empati adalah skill juga berarti sikap tersebut bisa kita kembangkan atau bahkan kita pelajari. Gak ada lagi tuh alasan “gue emang orangnya tuh susah berempati sama orang lain”, gak bisa kayak gitu, karena bisa kita asah dan kita latih sampai akhirnya jadi.
Selama kita masih berstatus sebagai “manusia”, harusnya masih bisa lah mengembangkan empati tersebut sampai jadi kebiasaan di diri kita. Yha kecuali kita bukan manusia lagi, tapi semacam mesin atau robot hehe.