Start Surabaya mengadakan talkshow di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya, Jumat , 11 Maret 2016 kemarin dengan Delihome sebagai pembicara. Pemenang Startup Sprint yang mendapatkan hadiah utama trip ke Silicon Valley menyebarkan start-up vibes and insights agar dapat menyuntikkan semangat membangun startup untuk generasi muda.
“Selama di Silicon Valley kami mengunjungi beberapa tempat. Dari situ kami menyimpulkan bahwa sebenarnya kemampuan orang Indonesia sama saja dengan orang di sana, tetapi yang membedakan adalah mindsetnya”, ujar James, Chief Finance Officer Delihome.
Baca juga: Foodsessive.com, Inisiatif Anak Muda Surabaya untuk Membantu Pengusaha Kuliner
“Ketika kami berkunjung ke StartX, sebuah co-working space di Stanford, kami mempelajari bahwa startup harus resourceful. Artinya, harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan kreatif. Karena itu, dibutuhkan sebuah ekosistem yang berisi orang-orang yang bervariatif. Mereka kalau bekerja di co-working space, di sana mereka saling terbuka meskipun berada di perusahaan dengan bidang yang berbeda. Seperti Startup Weekend yang mempertemukan orang-orang dengan background dan skill yang berbeda-beda. Ada juga GSVLabs, dengan tujuan ingin menyediakan semua kebutuhan start-up dari modal hingga konsultan”, tutur James tentang pentingnya ekosistem yang heterogen agar dapat bertukar pikiran.
“Mereka tidak hanya solving problem di US saja, pikirannya sudah global. Seperti ketika kunjungan ke Google dan Facebook. Google sangat ingin mengembangkan ekosistem IT di Indonesia,begitu juga dengan Facebook.”
James pun bercerita tentang pengalamannya kuliah di Beijing. Disana ia melihat Alibaba dan sistem e-commercenya yang sudah maju.
“Semua bisnis IT disana sudah hebat banget dan Indonesia masih jauh banget. Akhirnya itu jadi kesempatan buat aku. Kalau buat startup bisa bikin dampak buat orang.”
“Awalnya Delihome masih kosong. Business model dan app belum ada. Mulai membuat app sambil pergi ke berbagai bazaar untuk mencari vendor makanan. Setelah mendapatkan 10 vendor, kami mencoba jualan manual dahulu, hanya untuk percobaan. Akhirnya setelah paham dengan business flownya, kami memulai mendesain aplikasi”, ujar James tentang awal mula berdirinya Delihome.
Baca juga: Gage Batubara, Ajak Temukan Teman Senasib dengan Komuter App
Lalu kalau benar-benar mulai dari nol, apa sih yang dibutuhkan startup untuk memulai?
“Startup yang lain pun mulai dengan kemauan menyelesaikan masalah. Untuk Delihome, kasusnya adalah bagaimana caranya membuat rumah bisa menjadi source income. Selanjutnya, bikin MVP(Minimum Viable Product)”, jelas Lisa, Chief Management Officer dan Designer Delihome.
Sebagai generasi muda, pastinya kita sudah familiar dong, dengan teknologi. Tetapi bagaimana caranya agar generasi yang lebih tua mau memakai teknologi? Apalagi kebanyakan vendor-vendornya merupakan ibu-ibu.
“Kami memberikan edukasi cara memakai aplikasi Delihome kepada vendornya yang kebanyakan ibu-ibu. Kalau pengguna sih memang sudah siap dengan teknologi. Keuntungannya adalah, ibu-bu bisa setia karena malas belajar hal baru. Seperti halnya BBM. Walaupun sudah ada Line, Whatsapp, dan yang lainnya, BBM masih laku di Indonesia karena faktor kenyaman dan keterbiasaan”, ujar James.
Dengan banyaknya start-up yang berkembang, tidak sedikit yang gagal. Apa yang membuat sebuah startup menjadi gagal?
“Biasanya startup gagal karena memiliki asumsi startup yang dibuat akan dibutuhkan dan bisa menyelesaikan masalah pada masyarakat. Jadi kita perlu melakukan market validation. Lebih baik habiskan jatah gagal saat masa start-up, karena ketika sudah menjadi lebih besar, sudah banyak yang bergantung kepadamu”, jelas Lisa.
“Di Silicon Valley, permission for failure itu besar. Justru kegagalan di sana itu ditanyakan pertama kali oleh investor. Kalau belum pernah malah ngga dipertimbangkan. Kegagalan Delihome, awalnya adalah ingin membuat sebuah speed food delivery. Terinspirasi oleh startup Spoon Rocket yang ada di Amerika Serikat, mereka memiliki rekor 40 detik sampai tujuan setelah klik pesan! Kami coba, yaa–karena mengingat traffic di Indonesia terutama di Surabaya kacau, gagal total deh. Hahahaha. Akhirnya kami pivot ke sistem sekarang”, kenang James tentang kegagalan awal Delihome.
Memang banyak sih, ide yang keliatannya keren untuk digarap menjadi startup. Tapi apa semua ide bisa berhasil?
“Hal pertama yang dilakukan adalah survey ke temanmu sendiri, setelah itu coba survey yang lebih besar kepada orang yang tidak dikenal. Disitu kita bisa menilai apakah ide kita cukup mudah untuk diterima oleh masyarakat”, jelas James.
Baca juga: Cari Hunian Sewa Lebih Mudah Lewat Aplikasi
Mungkin kita sudah punya ide. Tapi bagaimana dengan tim?
“It’s better to have an A team with a B idea rather than a B team with an A idea. Pikirkan kesamaan visi misi yang paling penting. How to hire someone itu berdasarkan personality, bukan berdasarkan skill karena harus fit into the team. Bicarakan juga sharenya dan dilihat selama jangka waktu tertentu, dan sinkronkan dengan timeline hidup masing masing. Ketika ingin menarik orang lagi untuk bergabung, set the company’s culture. Misalkan untuk Delihome, culturenya adalah be human”, ujar Lisa tentang kultur dalam sebuah perusahaan, dan pentingnya komposisi tim dalam start-up.
Oke, sepertinya kita semua memulai tertarik untuk membuat startup. Tapi kapan ya waktu yang tepat?
“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulai startup. Cari ide itu ngga susah kok, jalani saja kehidupanmu seperti biasa, tapi lebih kritis dan terbuka. Kalau ada masalah itu berarti ada kesempatan. Tinggal orang mau bayar atau ngga untuk menyelesaikan masalah itu”, James sembari memberi semangat.
Talkshow diakhiri dengan nasehat salah satu dosen STTS, Bu Indra Maryati, agar para mahasiswa tidak hanya fokus dengan nilai IPK.
“Percuma kalau nilai kalian A tapi di lapangan ngga bisa apa-apa!”, kata Bu Indra.
Gimana, tertarik kan sekarang untuk membuat startup?
Baca juga: Berkat Kreativitas Pemenang Start Up Surabaya Terbang Ke Silicon Valley
Image header credit: picjumbo.com