There will be a time – I don’t know when, I can’t give you a date – when physical money is just going to cease to exist. Robert Reich
Jaman udah digital, nggak cuman kamera aja yang dari analog lalu muncul versi digitalnya, uang pun nggak mau kalah. Istilah e-money yang belakangan juga ikutan booming diikuti dengan fenomena cashless society, generasi masyarakat tanpa uang tunai.
Pertumbuhan e-money di Indonesia cukup bagus, tahun 2007 yang hanya Rp 5 miliyar, tahun 2014 lalu sudah mencapai Rp 30 triliun. Miliaran e-money berputar setiap harinya melalui beragam layanan seperti kartu prabayar, kartu debit, dan kartu-kartu lainnya. Bentuk fisik uangnya jelas nggak ada, karena Bank Indonesia sendiri mendefiniskan e-money sebagai yang yang tersimpan di dalam server.
Robert Reich seorang ekonom Amerika pernah bilang kalo suatu saat era transaksi tunai akan berakhir. Nah, gimana Robert nggak bilang begitu, di Amerika sendiri, masyarakat didorong untuk melalukan transaksi non-tunai. Hal ini tentunya nggak jauh-jauh dari Indonesia yang belakangan bayar parkir di mall hingga bayar uang tol aja udah pake e-money, tinggal sodorin kartu terus beres dah!
Baca juga: Selain Unplug dari Gadget, Ayo Unplug dari Uang
David Wolman sependapat dengan Robert kalo uang fisik itu lumayan ribet dipake untuk transaksi sehari-hari. Ia bahkan menerbitkan buku The End of Money. Makanya dengan adanya e-money ini diyakini bakal memudahkan masyarakat dalam bertransaksi.
Cashless society mendorong masyarakat untuk bertransaksi non-tunai, ya kayak tadi: belanja di mall tinggal gesek, belanja online tinggal transfer, bayar parkir tinggal tap kartu. Praktis? Iya. Dengan cara kayak gini kita nggak perlu bawa duit banyak kemana-mana, lebih aman, dan ngurangin risiko salah hitung uang dalam jumlah besar. Bank mana aja juga bakal seneng karena nggak perlu lagi ngitung uang tunai secara manual. Kan?
Dengan cashless society yang sebenernya mulai dikenalkan oleh Bank Indonesia tahun 2010 ini, pertumbuhan ekonomi dan daya beli nggak akan lagi terhambat problem transaksi manual (yang lama, dan beresiko tinggi akan kesalahan).
Baca juga: Dari Barter ke Uang: Why Working for Money Won’t Make Us Happy
Sayangnya untuk saat ini kita masih harus bawa uang cash kemana-mana, meski dalam jumlah kecil. Infrastruktur di Indonesia belum merata, iya kali di kota besar kayak Jakarta ATM atau mesin EDC bertebaran dimana-mana. Nah, kalo yang di kota kecil atau pelosok desa?
Dulu, orang yang dompetnya tebel bisa bangga karena kelihatan banyak uang. Sekarang? Makin banyak kartu kayaknya sih makin bangga, dompet tipis nggak masalah lah ya.. #eh
Imaage header credit: journalofreview.wordpress.com
Comments 2