Perkembangan dunia teknologi yang pesat memang sayang banget kalo nggak dimanfaatin untuk mengembangkan bidang lain, salah satunya adalah bidang pendidikan.
Norman Ganto (CEO, Bulletinboard) dan Ade Wicaksono (CMO, Bulletinboard) yang sepupu ini awalnya cuman ngobrol-ngobrol tentang gimana orang tua itu sibuk dan nggak bisa keep up dengan pendidikan anak-anak mereka serta informasi yang disampaikan dari sekolah. Kayak yang kita tahu, selama ini sekolah di Indonesia itu mayoritas masih menggunakan buku (dan kertas), lalu kenapa enggak aja dicoba menggunakan mobile app?
Mas Norman dan Mas Ade akhirnya nyoba mengganti buku dengan mobile app (iOS dan Android) buatan mereka dengan tujuan agar orang tua lebih terlibat dalam pendidikan formal anak. Kayak misal nih, banyak orang tua yang mempercayakan anaknya kepada suster, selepas pulang kerja orang tua cuman butuh laporan dari susternya tentang gimana perkembangan anak di sekolah. Nah, di sini orang tua tu disconnected dengan sekolah kan? Makanya butuh satu connector yang bisa menghubungkan mereka.
Berdasar pengalaman Mas Ade yang sudah cukup lama berkecimpung di manajemen sekolah, memang selama ini banyak orang tua yang sibuk. Bahkan nggak sedikit orang tua yang cuek, dan ketika ditanya oleh pihak sekolah tentang abcd-nya perkembangan anak selalu aja ada excuse kayak misal dia belum terima message dari sekolah.
Baca juga: Pengajar Muda: Pendidikan itu Mencerahkan, Bukan Mengarahkan
Dari situ akhirnya kepikir buat bikin Bulletinboard, mobile app yang menjadi penghubung antara sekolah dan orang tua siswa. Bulletinboard yang merupakan salah satu finalis Seedstars World Jakarta 2015 ini menawarkan kemudahan berkomunikasi antara sekolah, guru, dan orang tua siswa yang efektif dan efisien. Jadi ya udah nggak jamannya tuh sekolah memanggil orang tua siswa pakai surat dan semacemnya. Dengan begini, guru bisa nge-save waktu, dan sekolah bisa nge-save cost.
“Saya terus kasih tau Norman, ini kan penting untuk menunjang keberhasilan sekolah anaknya. Cuman kalo nggak ada kolaborasi dari sekolah dan orang tua akan susah. Akhirnya ini yang jadi trigger kita untuk bikin Bulletinboard, kita start bikin dari bikin aplikasi yang paling basic dulu. Tapi ya tetap dipikirkan bagaimana ini sama-sama saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Guru pekerjaannya menjadi lebih ringan, orang tua juga nggak akan merasa terus terpojokkan. Soalnya kan, saya dari bagian manajemen sekolah jadi tahu banget gimana kalau orang tua itu terpojokkan, pasti dia akan makin alesan.”
Misal biasanya kan guru ngasih PR tuh ke siswa, terus siswanya bawa pulang ke rumah dan minta suster atau orang tuanya bantu. Sekarang, guru bisa bikin kelas di Bulletinboard dan orang tua bisa join di situ. Segala informasi tentang perkembangan dan kebutuhan anak di sekolah akan dibagikan oleh guru di situ, dan guru bisa melihat orang tua mana saja yang sudah membaca pesan yang ia bagikan.
Baca juga: Muhammad Iman Usman: Bangun Pendidikan Berkualitas dengan Ruangguru.com
Di sini, orang tua nggak bisa lagi nyari excuse belum baca email, surat, sms, atau semacemnya karena sesibuk apapun, sebenernya orang tua itu tetap punya waktu buat baca pesan yang di-broadcast oleh guru.
Sejak di-launching pertengahan Juli lalu, sudah ada sekitar 30 kelas dengan 180 user yang menggunakan Bulletinboard ini. User ini berasal dari beragam sekolah negeri, swasta, dan internasional.
Mas Norman dan Mas Ade yang memang sangat concern dengan bidang pendidikan di Indonesia ini berharap ke depannya awareness terhadap Bulletinboard ini bertambah, dan orang mulai ngerti bahwa they don’t have to spent so much paper and money karena ada solusi yang murah, environment friendly, dan jauh lebih efektif.
“Saat ini kan kita baru mau launching yang moda komunikasi, tapi nanti ke depannya kita akan memberikan service yang lebih luas. Nggak cuman mengatasi masalah komunikasi tadi, tapi juga pengen guru bisa merasakan efek yang lebih banyak kayak misal kita menyediakan resources pendidikan yang saat ini masih terbatas. Misal bikin kelas khusus dari expert dari luar negeri yang bisa diakses oleh seluruh guru di Indonesia, kan selama ini kelas kayak gini cuman bisa dinikmati oleh guru-guru di sekolah-sekolah yang high level.”
Baca juga: Q&A: Bukik, Pendidikan Bukan Alat Pelumas Obsesi Orangtua