Di hari buku sedunia yang jatuh pada tanggal 23 April, Ziliun berkesempatan untuk mewawancarai CEO Bookslife, Ardianto Agung. Bookslife merupakan startup yang bergerak di bidang jasa penerbitan buku digital. Pria yang biasa dipanggil Mas Ardi ini bercerita tentang perjalanannya membuat platform alternatif di dunia penulisan Indonesia.
Insiprasinya bikin Bookslife dari mana?
Gue mengadopsi ide iTunes sebenarnya. Menurut kami, ada masalah yang terjadi di industri konten, misalnya musik. Karena harga CD yang mahal sehingga album fisik sering dibajak. Akhirnya orang-orang di industri musik cari alternatif penjualan, salah satunya aplikasi iTunes. Orang-orang bisa menjual albumnya di iTunes dan para pendengar bisa membeli lagu sesuai dengan pilihan mereka, tidak perlu langsung beli satu album.Di Bookslife, buku itu ibaratnya album musik di iTunes.
Terus abis itu gw ngobrol sama Tata yang sekarang jadi Editor in Chief Bookslife. Gue tanya, “Bisa enggak kita adopsi ide iTunes di buku? Buku itu kita jualnya gak langsung full version, tapi kita jualnya part by part!”. Terus Tata bilang bisa.
Dari mana dapat ide untuk menerapkan sistem “cerita bersambung” di Bookslife?
Kami berdua kan penyuka cerita bersambung, lalu hal tadi kami coba terapin. Untuk buku fiksi, seolah-olah buku yang ada di Bookslife itu cerita bersambung, padahal enggak, satu buku di Bookslife itu udah punya cerita utuh, tapi kami ngemas gimana per-part itu bener-bener menarik. Ternyata, hal ini berlaku juga buat buku non-fiksi kayak buku pelajaran, di mana orang gak usah beli satu buku utuh. Tapi orang-orang pilih part yang emang dibutuhin aja.
Saat ini Bookslife sudah mempunyai banyak user, gimana caranya untuk mengajak orang-orang buat subscribe konten-konten berbayar di Bookslife?
Lewat beberapa penulis yang bisa dibilang “well-known” seperti Mbak Dee (Dewi Lestari), Asma Nadia, dan beberapa penulis lainnya. Mereka ini kan penulis yang cukup besar, sehingga para pembaca merasa “ada penulis bagus loh”. Hal ini yang membuat pembaca aware karena para penulis ini mau untuk menerbitkan karyanya di Bookslife.
Bagaimana meyakinkan para user soal kualitas konten berbayar di Bookslife?
Pada saat Bookslife mengeluarkan konten berbayar, pasti kami memberikan kualifikasi bahwa konten itu konten yang baik. Dalam artian, semua konten yang ada di Bookslife udah diedit dan dikurasi melalui editor, siapapun penulisnya. Mungkin itu bentuk edukasi kami soal penulis.
Apa aja benefit yang bisa didapetin user dan penulis di Bookslife?
Ternyata hal ini memberikan beberapa benefit untuk semua pelaku industri penerbitan, baik itu bagi penulisnya, bagi gue sebagai publisher-nya, dan juga para pembaca karena bisa dapetin harga yang terjangkau. Benefit lebih besar juga kepada penulis kalau kami ngomongin hitung-hitungannya (profit) dibandingkan buku cetak.
Bagi pembaca juga fair, kalau dia udah suka sama part satu di sebuah buku, dia bisa langsung ke part dua. Kalau pembaca enggak suka, ya tinggalin. Bandingin misalnya lo beli buku cetak seharga 65 ribu, tapi ternyata dari awal ceritanya udah enggak bagus, kan lo sebagai pembaca ngerasa rugi.
Bagaimana antusiasme penulis di Bookslife?
Tanpa gue sadari penulis-penulis lama dan baru banyak juga yang submit tulisan di Bookslife. Juga genre-genrenya itu yang bikin menarik dan enggak mudah ditemukan di toko buku. Ada yang kirim cerita thriller yang gore, fantasi lokal. Lalu tulisan non-fiksi juga banyak, kayak buku edukasi buat pameran, edukasi komik, itu kan sulit ditemukan di toko buku Indonesia.
Hal yang coba gue bangun adalah gimana penulis-penulis yang terbilang cukup besar mau nerbitin tulisannya di Bookslife. Kami juga enggak membedakan penulis besar dengan yang baru. Semuanya harus lewat proses editing yang sama, kami kurasi, edit, lalu bikinin layout-nya. Makannya kami bilang, Bookslife adalah digital publishing, karena proses yang kami lakukan adalah kerja publishing tapi medianya aja yang digital.
Proses kurasi itu kerap dinilai sangat subjektif, gimana sih proses kurasi yang dilakukan Bookslife untuk menjaga kualitas konten-konten yang masuk?
Sebelumnya di Bookslife ada Editor in Chief yaitu Mbak Tata. Dalam proses kurasi, Bookslife membentuk tim. Tim yang mengkurasi buku-buku fiksi dan non-fiksi itu dibedakan. Kurasi itu memang sangat subjektif sih, semua orang pasti punya pandangan masing-masing, tapi setidaknya ada diskusi antara penulis dan editor, sehingga hal yang ingin disampaikan oleh penulis dapat tersampaikan dengan baik. Enggak mungkin editor atau penulis saat mengedit tiba-tiba ceritanya berubah total. Kalau kami balikkin ke pasar, pasar bisa menentukan, karena suka enggak suka itu bersifat subjektifkan?
Hal yang pasti di dunia digital itu orang pengen cepet. Salah satu bentuk edukasi kami bagi penulis di publishing digital adalah,cerita per-bagiannya harus kuat. Enggak lagi kayak buku cetak, di mana udah baca sampai bab tiga tapi kita masih bingung dan belum ketebak ceritanya. Itu gak bisa di Bookslife.
Di part satu itu konfliknya dan karakternya udah mulai keliatan. Juga dan arah part duanya harus udah mulai keliatan, di mana bisa nge-trigger orang-orang untuk baca kelanjutannya. Hal ini juga bentuk edukasi untuk para editor agar bertanggung jawab bikin cerita yang lebih kuat di setiap partnya.
Di saat ini, apa aja yang masih menjadi tantangan bagi Bookslife?
Ada dua sih kesulitannya. Pertama itu kendala teknis, yaitu di Payment Gateway. Kan sekarang aplikasinya udah di-update ya, jadi bisa beli, baca, redeem, top-up wallet di satu aplikasi. Tetapi, saat ini kami masih pake kartu kredit sama transfer, itu baru beberapa bank aja yang bisa.
Lalu masalah edukasinya, Bookslife terus berusaha mengeluarkan konten-konten yang berkualitas, jadi user mengerti mengapa mereka harus membayar. Kami juga menghadirkan penulis kayak Mas Hikmat, Mbak Dee, karena mereka juga membantu untuk mengedukasi pembacanya. Secara tidak langsung hal-hal kayak gini yang membentuk trust di semua buku-buku yang ada di Bookslife.