Lagi-lagi ribut-ribut di media. Kali ini mulanya dipicu oleh demonstrasi taksi konvensional memprotes taksi berbasis aplikasi seperti Uber dan GrabCar. Pro dan kontra hadir dari berbagai pihak yang beropini soal apa yang salah dan benar, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sampai mereka yang membela ataupun menyalahkan teknologi.
Kemudian beberapa hari yang lalu muncul artikel ini. Beberapa kawan di media sosial berbagi artikel tersebut, yang lalu memunculkan berbagai komentar soal pemaparan sang penulis di artikel ini.
Penulis menyebutkan bahwa sekarang ini Indonesia sedang dilanda teknofetish. Saya tidak terlalu mengerti artinya, karena tidak dijelaskan lebih lanjut oleh penulis di artikel tersebut. Tetapi asumsi saya teknofetish yang dimaksud adalah obsesi, pemujaan, atau ketergantungan yang tidak sehat atas teknologi. Tentunya teknologi yang dimaksud di sini adalah digital dan internet.
Baca juga: Menyelesaikan Masalah Gak Selalu Butuh Teknologi Canggih
Fenomena ketergantungan teknologi ini kemudian dielaborasi oleh penulis di dalam artikelnya sebagai berikut:
“…Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan secara jelas bahwa pemuda Indonesia perlu terus berkarya demi ‘menghasilkan aplikasi-aplikasi untuk mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara, untuk mensejahterakan rakyat’. Dengan pernyataan ini, Jokowi secara tidak langsung telah mengkonfigurasi ulang sebuah fungsi penting negara dan pemerintah dalam tugasnya memperbaiki kualitas hidup rakyat. Fungsi tersebut di-crowd source, atau lebih sinis lagi, dinegosiasikan kepada pihak swasta.”
Sebagai orang yang optimis dan senang berbaik sangka, saya tidak setuju dengan asumsi penulis bahwa ada niatan pemerintah melemparkan seluruh tanggung jawab pelayanan masyarakat ke swasta.
Di negara-negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan Jepang, masih ada beberapa bagian di mana pemerintah kekurangan sumber daya dan keahlian untuk melayani masyarakat secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, masyarakat yang memiliki kemampuan lebih, berinisiatif untuk membantu pemerintah melalui perbaikan layanan masyarakat yang difasilitasi oleh teknologi. Salah satu contohnya adalah codeforamerica.org, sebuah inisiatif yang dibuat oleh para mantan karyawan tech giants seperti Google, Yahoo!, dan Microsoft yang punya keahlian pemrograman, untuk memperbaiki berbagai layanan masyarakat yang tadinya bersifat offline menjadi online melalui aplikasi dan website.
Di Indonesia pun, di beberapa kota dengan komunitas teknologi yang sudah cukup besar seperti Jakarta dan Bandung, sudah banyak sekali inisiatif dari masyarakat umum untuk membantu pemerintah membuat aplikasi atau program yang bersifat menyelesaikan masalah-masalah sipil, seperti transportasi dan sanitasi publik. Komunitas semacam FOWAB, Code4Nation, Code for Indonesia, sudah seringkali mengadakan atau mendukung kegiatan seperti hackathon dan kompetisi yang mengajak para developer untuk membuat aplikasi civic tech, dengan atau tanpa insentif dari pemerintah.
Baca juga: Kenapa Berburuk Sangka pada Teknologi?
“…Inovasi digital akan menjadi landasan pembangunan terbaru, yang meliputi semua aspek, mulai dari ekonomi, politik, transportasi, komunikasi, keamanan, dan lain-lain. Dalam konteks ini, masyarakat perlu mempertanyakan kepentingan kenegaraan dan sosial apa yang dilegitimasi, dan apa yang diabaikan ketika kemajuan infrastruktur digital menjadi sinonim dengan kemajuan infrastruktur perkotaan. Karena bahkan Google saja emoh membangun di perdesaan…Pemerintah dan para pendukung revolusi digital sepertinya lupa bahwa pembangunan infrastruktur digital oleh swasta dilakukan dengan menumpang pada infrastruktur yang sudah ada. Bahkan Google pun tidak membangun dari nol.”
Menanggapi paragraf di atas, saya berbaik sangka bahwa penulis mungkin tidak baca dan tidak tahu menahu soal kunjungan Sergey Brin Google ke Indonesia bertemu dengan Menkominfo Rudiantara untuk membahas Project Loon.
Sebagai pihak yang tahu satu dua hal soal rencana ekspansi raksasa teknologi ini di Indonesia, saya tidak menyangkal bahwa Google memang punya kepentingan besar di negeri ini. Betul bahwa Google selama ini menjalankan berbagai layanannya menumpang infrastruktur internet yang sudah ada. Tapi salah besar mengatakan bahwa Google tidak punya niatan sama sekali membangun infrastruktur di wilayah terpencil. Lagipula, kalau mereka tidak berinvestasi di infrastruktur internet di Indonesia, mereka sendiri yang rugi. Infrastruktur adalah modal yang sangat mereka perlukan untuk bertahan dalam waktu yang panjang di Indonesia.
Baca juga: Pakarnya Koar-koar Ekosistem Startup Teknologi
“Ekonomi berbasis industri digital, dengan demikian, memiliki bias kelas karena mensyaratkan titik keberangkatan komunitas kelas menengah; sebuah komunitas dengan cikal bakal infrastruktur dan perangkat digital yang berkecukupan… Jadi bagaimana dengan wilayah Indonesia yang masih sangat kekurangan infrastruktur dasar atau pengetahuan digital? Daerah yang memang kurang maju akan tetap terus terhambat. Sedangkan daerah urban akan semakin melesat.”
Menjawab hal ini, sekali lagi, daripada saya menyalahkan pemerintah yang begitu inkompeten, lebih baik saya dan teman-teman pelaku industri teknologi lainnya bertindak dan berbuat sesuatu untuk memastikan gap yang terjadi tidak akan terlalu besar.
Saya tahu persis beberapa founder startup hebat yang memfokuskan produk dan layanan mereka untuk mengakomodasi kepentingan the bottom of the pyramid atau masyarakat kelas sosial ekonomi bawah yang miskin dan jumlahnya paling banyak. Beberapa contohnya seperti 8villages, iGrow, dan eFishery. Teknologi yang mereka kembangkan ingin membantu mereka yang miskin dan tidak punya e-mail, dengan cara mendorong pemakaian teknologi sesedikit dan sesederhana mungkin, namun berdampak sebesar mungkin. Saya yakin orang-orang hebat tersebut sangat percaya pada teknologi, sehingga mau dan mampu menciptakan solusi yang dapat memecahkan masalah untuk membantu masyarakat di pelosok sekalipun.
Baca juga: Andreas Senjaya: Bermanfaat Melalui Teknologi
“Sebagian rakyat Indonesia memang masih hidup di “zaman batu.” Keputusan sebuah bangsa untuk tidak mengadopsi sebuah teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai kemunduran sosial. Teknologi wajib diinterogasi.”
Tentunya kita semua bisa berargumen, bagaimana dengan daerah perbatasan terluar Indonesia, air bersih dan listrik aja ngga ada kok, masa mau bangun infrastruktur internet? Saya setuju bahwa tidak semua hal bisa dilakukan dengan cepat dan secara masif. Tapi saya kenal secara personal orang-orang hebat yang mau berusaha dengan otak, hati, dan tenaga yang mau mengubah hal ini, baik mereka yang berada di dalam maupun di luar pemerintah.
Perubahan selalu dimulai oleh segelintir pihak yang percaya akan kebaruan dan masa depan. Saya bukan orang yang punya pengalaman cukup lama di industri digital. Tapi saya percaya teknologi adalah masa depan yang tidak bisa dihindari. Suka atau tidak suka, hal tersebut akan hadir cepat atau lambat. Yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap. Apakah kita mau terus-menerus berkutat di polemik mengambinghitamkan teknologi, atau maju bergerak untuk memanfaatkannya?
Image header credit: picjumbo.com
Comments 1