Sudah nyari setahun di rumah, tentu saja siapapun akan mendambakan angin segar dan pemandangan yang setidaknya sedikit berbeda dari kota besar yang menjadi tempatku tinggal, Jakarta.
Yap, siapa sih yang gak mau pergi ke suatu tempat setelah terjebak begitu lama di tengah pandemi?
Aku bukan orang yang sering bepergian, bukan juga traveller by nature. Di awal karirku, aku kadang ke luar kota untuk mengurus acara. Hanya di momen itu aku akan pergi jauh dan eksplor tempat-tempat baru. Bertemu dengan orang baru. Menyegarkan pikiran sejenak. Dan tentunya, mengambil inspirasi.
Tidak ada bedanya dengan perjalanan yang kulalui minggu lalu.
Di tengah padatnya persiapan acara, seorang rekan kerja menelepon karena ada program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ke Bangka Belitung dan menawariku ikut serta mewakili media wisata kantor.
Rasa antusias menjalani perjalanan sempat tertutupi dengan seribu satu kekhawatiran. Karena apa lagi kalau bukan virus korona yang masih ada di luar sana. Apalagi karena aku tim #dirumahaja sejak awal masa karantina.
Ada “oleh-oleh” yang kubawa dari hasil refleksi dari perjalananku selama di sana :
- Bepergian selama pandemi itu bisa, asal protokol kesehatan dijaga
Aku akhirnya melakukan tes swab antigen pertamaku untuk syarat jalan. Prosesnya sama sekali tidak sulit hingga dokumen itu diverifikasi di bandara. Semua tempat sudah menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, wajib masker, dan pengecekan suhu.
Tahu-tahu, aku sudah menyerahkan hasil swab antigen dan menyetor QR Code aplikasi e-Hac di Bandara Depati Amir, Pulau Bangka. Masuk ke Museum Timah dengan protokol kesehatan yang sama sambil mendengarkan bagaimana timah dipergunakan oleh pribumi hingga dikapitalisasi oleh Belanda. Dan check-in di hotel yang tertera jelas memiliki sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) yang dikeluarkan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk tetap menjaga semua pengunjung selama pandemi.
Tidak ada rasa takut yang hinggap karena kami sendiri menjaga protokol kesehatan hingga ke dalam bus, duduk sendiri-sendiri dan tetap menggunakan masker, mencuci tangan di setiap tempat yang didatangi, menyemprotkan disinfektan, dan menjaga jarak dari satu sama lain.
- Tempat-tempat cantik itu sepi
Aku termenung sepanjang perjalanan, memang sih aku bilang ingin ke pantai dua hari sebelum telepon itu datang dan sedang merencanakan jalan sendiri ke Ancol. Tapi, begitu doaku dikabulkan sekilat ini, aku tahu perjalanan ini bukan liburan. Kupandangi Pantai Parai yang sepi, tak banyak orang, harusnya liburan itu ramai.
Seharusnya ada anak-anak yang berlarian di pantai. Ada orang tua yang menggelar tikar dan menjejerkan makanan. Ada orang-orang berenang di pantai yang tenang itu. Semua skenario yang kubayangkan ternyata hanya selesai di dalam kepala. Karena nyatanya, pantai itu kosong tanpa penghuni.
Semua destinasi yang kutemui adalah hamparan alam tanpa mata-mata yang bisa menikmatinya. Bahkan, tak jarang kulalui tempat-tempat yang asalnya adalah fasilitas wisata seperti pujasera tidak lagi beroperasi. Resort-resort kehilangan penyewanya.
Rasanya tentu saja asing. Aku selalu berada dalam bayang-bayang ekspektasi kalau perjalanan seharusnya bisa membuka pintuku menemui banyak orang. Yang pasti, tempat-tempat ini berhak punya kesempatan kedua untuk dinikmati khalayak ramai sebagai tempat wisata.
Kekosongan itu terus menyertai hingga tiba di Belitung. Pantai Tebing Tinggi, tempat yang dikenal luas dengan keindahannya dari film Laskar Pelangi, tak banyak didatangi orang-orang. Padahal itu akhir minggu.
Museum Kata Andrea Hirata pun hanya menjadi bangunan warna-warni yang lengang. Padahal, karya-karya yang dipajangnya di sana membuatku tercengang. Kutemukan potongan buku Jane Eyre dan beberapa karya sastra yang pernah kubaca semasa kuliah. Nostalgia itu cuma kunikmati sendiri.
Aku yang selama ini hanya berkutat di balik laptop dan gawai lainnya tidak akan pernah tahu perasaan warga lokal yang menghampiri pemandu kami karena berharap dia membawa lebih banyak wisatawan ke sana.
“Cuma sebentar saja di sini?” Kata seorang wanita paruh baya yang menghampiri saat kami mencuci kaki selepas dari pantai. Perjalanan kami akan diteruskan ke Open Pit Nam Salu yang merupakan tambang timah.
“Iya, Bu, tapi nanti lah kita balik lagi,” yang memandu kami, Yunus, seorang pemuda daerah yang bekerja di Dinas Pariwisata berujar menenangkan.
Baca juga: Trifitri Muhammaditta: Ubah Kebiasaan Orang-orang dalam Gunain Botol Plastik lewat RefillMyBottle
Aku bisa membaca raut kecewa wanita itu. Kami memang cuma singgah setengah jam lamanya. Keindahan itu hanya bisa kami abadikan sejenak di foto-foto dengan background cerah yang kemudian akan menjadi modal promosi pariwisata setelahnya.
Sebelum pergi, kami berjanji untuk segera kembali. Aku tidak sabar menunggu saat itu juga. Jakarta tak pernah kehilangan orang-orangnya selama pandemi. Jalan di depan kosanku akan tetap aktif, mau itu PSBB ataupun jam 3 pagi.
- Wisata bukan sekadar destinasi, tapi juga edukasi
Kami berbicara dengan Pak Zaiwan, seorang warga lokal yang sudah mengabdikan hidupnya di Hutan Pelawan hingga dua kali diundang ke Istana Negara. Pak Zaiwan menjaga bukan saja kelestarian hutan yang berlokasi di Desa Namang, Bangka Tengah, tapi juga para warganya yang menggantungkan hidup dari hasil hutan itu meski tak banyak.
Selama menjaga hutan, Pak Zaiwan harus tahan dengan tawaran orang-orang yang menawar untuk membeli tanah di sana untuk dijadikan tambang timah. Dia beralasan, masa kecilnya yang dihabiskan di sana tidak sepadan dengan gelimang uang yang dijanjikan. Pak Zaiwan memilih untuk membiarkan hutan itu ada untuk dinikmati anak cucunya kelak, dan juga sarana edukasi bagi wisatawan.
Di tengah hutan yang bahkan nihil sinyal, kami disajikan makanan mewah, jamur Pelawan. Jamur ini punya harga di atas harga daging sapi, bahkan menyentuh 3 juta per kilogramnya. Namun mereka menyuguhkannya dengan penuh kerendahan hati.
Di tengah hutan lainnya di Bukit Peramun, aku menjumpai penjaga hutan lainnya bernama Adi Darma, yang berjuang untuk mengembangkan wisata di sana. Kali ini, hutan yang kami kunjungi bahkan punya jaringan Wi-Fi sendiri dan aplikasi edukatif yang membantu wisatawan untuk mengenali spesies-spesies tetumbuhan.
Aku tercengang dengan fakta jika Adi mengembangkan aplikasi ini sendiri, dalam usahanya untuk menekan biaya operasional dan menghadirkan informasi yang interaktif untuk pengunjung Bukit Peramun.
Perjalanan ini melampaui segala ekspektasi yang kumiliki.
Jalan-jalanku diisi sambil berdiskusi bagaimana cara memulihkan tempat-tempat ini. Setidaknya selusin destinasi telah kami datangi dalam perjalanan 4 hari itu, lengkap mulai dari pantai hingga pegunungan. Melihat langsung semburat awan di atas air ataupun pepohonan. Menjenguk sekilas perjuangan orang-orang yang giat melakukan konservasi hingga bertahan hidup melalui bantuan alam.
Aku pulang hari Minggu. Mengira-ngira kapan seluruh kegaduhan pandemi ini akan segera mereda. Karena ada orang-orang yang membutuhkan kami, wisatawan, kembali lagi ke sana.