Pertama kali gue suka baca buku itu pas duduk di bangku kelas 11 SMA. Di saat semua temen-temen sekelas gue baca novel, kayaknya cuman gue aja yang bacaannya buku Disruption (Rhenald Kasali). Walaupun engga gue baca dari awal sampai habis, namanya juga orang yang baru suka baca buku. Jadi, gue hanya sebatas membaca bagian-bagian yang judul ya seru aja.
Membaca buku itu atas dasar kemauan kita
Bukan seperti informasi di media online yang terkadang memang bermanfaat, tapi sebenarnya bukan kita datangi karena kemauan kita. Seperti postingan microblog yang ada di Instagram, kontennya sangat berbobot sebenarnya. Namun, konten seperti itu lebih sering muncul di timeline kita tanpa kita berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan. Berbeda dengan buku yang kita baca, akan lebih banyak effort yang kita keluarkan untuk mendapatkan satu poin penting. Oleh karena itu, ilmu yang kita dapat akan lebih mudah melekat di dalam pikiran kita ketimbang hanya melihat-lihat konten di media sosial aja.
Baca juga: Lupakan Sejenak tentang Mimpi di Tahun Ini!
Studi kasus yang sangat banyak
Teori yang penulis kemukakan tentu tidak hanya omong kosong belaka. Ia pasti sudah melakukan riset mendalam tentang teori tersebut Nah riset yang udah dilakukan penulis ini yang akan menjadi contoh studi kasus buat kita pelajari dan dapatkan hikmahnya. Sekali lagi, adanya studi kasus yang ada di buku berbeda dengan informasi yang disampaikan hanya melalui konten digital. Mungkin hanya ada satu atau dua contoh studi kasus ketika kita mendapat informasi melalui konten digital. Namun, kalau di buku, ada banyak sekali contoh studi kasus dari riset si penulis. Bukan sekadar untuk memperbanyak halaman, penulis memiliki harapan agar kita sebagai pembaca dapat lebih memahami tulisan melalui studi kasus yang Ia tulis.
Buku yang kita baca bisa kita ulang kapan aja
Memang di beberapa sosial media ada fitur untuk menyimpan konten orang lain ke dalam akun kita. Namun, hanya buku fisiklah yang dapat dengan mudah kita tandai halamannya dan kita buka lagi ketika kita ingin mengulang pelajaran yang ada di dalamnya. Kita tidak perlu repot-repot membuka gadget atau terhubung ke jaringan internet untuk mendapatkan informasi yang terdahulu sudah kita tandai. Kalau gue sendiri, paling suka ngasih stabilo dan post-it di setiap halaman yang menurut gue bakal berguna di suatu saat nanti.
Ada kepuasan tersendiri kalau gue udah ngumpulin banyak post-it di dalam sebuah buku hahaha. Dari ketiga alasan yang gue pikir buku lebih baik untuk mencari sumber informasi ketimbang media digital lainnnya. Di sisi lain, engga ada salahnya juga untuk kita mencari sumber informasi yang ingin kita ketahui lewat media digital. Tidak selamanya media digital buruk untuk kita, malahan untuk indikator, kita bisa mendapat informasi dengan lebih cepat melalui media digital daripada melalui sebuah buku. Intinya, kita harus bisa memaksimalkan dan memadukan kedua media tersebut sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi kita