Seminggu belakangan ini saya sedang berkunjung ke beberapa kota dan negara di Eropa Barat. Maklum, baru pertama kali, jadi itinerary saya agak ambisius. Baru 2-3 hari di satu kota, langsung pindah ke kota lain. Terus nyesel sendiri karena capek 🙁
Saya tiba di Paris kemarin, naik bus antar kota dari Belgia. Bukan Brussels, tapi dari Antwerp. Jaraknya sekitar dua jam naik bus dari Den Haag, kota pusat administrasi di Belanda. Karena berbatasan langsung dengan Belanda, kebanyakan warga Antwerp berbicara dalam bahasa Belanda, atau yang dialeknya serupa. Memang dulunya, sebelum pecah karena perang dengan Spanyol, Belgia adalah bagian dari Belanda. Jadi ngga heran kalau bahasanya mirip, kalau tidak mau dikatakan sama. Sebagian warga Belgia lain, terutama yang tinggal di Brussels, kebanyakan berbicara dalam bahasa Prancis.
Ketika saya tiba di Antwerp beberapa hari yang lalu, meskipun saya naik bis, tapi saya turun di Antwerpen Centraal, stasiun kereta api sentral di Antwerp. Kalau di Jakarta, semacam Gambir begitu. Saya langsung jatuh cinta, karena stasiun keretanya cantik banget! Pas googling, ternyata stasiun kereta ini bahkan pernah dianugerahi sebagai stasiun kereta paling indah di dunia. Ngga heran sih, bentuknya aja begini:
Baca juga: Merayakan Kegagalan
Bukan cuma stasiun keretanya aja yang cantik, kotanya pun rapi dan bersih. Orang-orangnya juga ramah. Banyak yang nanya saya dari mana. Satu ibu-ibu penjaga tiket di Museum Rubenshuis bahkan menyapa saya dengan bilang “Selamat datang!” dalam Bahasa Indonesia. Pas saya tanya, kata beliau ayahnya orang Indonesia.
Karena baru pertama kali berkunjung, saya agak terkejut ketika menyadari bahwa Eropa –terutama di kota-kota besar seperti yang saya datangi– terdiri dari orang-orang dari berbagai suku, ras, dan latar belakang yang berbeda. Setiap saya pergi naik tram, bus, atau jalan kaki, selalu papasan dengan perempuan muslim berjilbab, warga keturunan Afrika, atau orang Asia. Karena saking beragam orangnya, saya sering banget disapa dalam bahasa Belanda. Mungkin disangka penduduk. Padahal jelas-jelas muka saya muka Melayu. Saya cuma bisa senyum-senyum sambil minta maaf, bilang saya cuma bisa bahasa Inggris.
Tiba-tiba tadi pagi dikasih tau kalau ada bom meledak di bandara Brussels. Cek berita, eh ternyata serius dan jatuh banyak korban pula. Meskipun saya ngga ke sana, dan udah ngga di Belgia lagi, tapi rasanya tetap nyesek. Selain karena gak jauh, juga karena gak percaya, kenapa di tempat yang menyenangkan seperti itu, terjadi hal yang tidak menyenangkan. Sebelum akhirnya memutuskan singgah di Antwerp pun, saya sempat mempertimbangkan untuk ke Brussels. Detik-detik terakhir saya memutuskan ngga jadi ke sana karena beberapa pertimbangan.
Baca juga: Generasi Z
Saya tidak mau membahas soal mengapa dan bagaimana pengeboman terjadi. Yang saya harapkan, jangan sampai karena kejadian ini, orang-orang ramah dan inklusif tersebut jadi penuh curiga dan prasangka. Lebih-lebih sampai memusuhi tetangga sendiri.
Kalau dipikir-pikir, mereka yang super beragam itu saja masih bisa terbuka dan menerima orang dari suku, ras, agama, bahasa dan budaya yang berbeda. Masak, kita, orang Indonesia yang isinya lebih seragam aja jauh lebih antipati terhadap saudara sendiri. Bahasa yang kita ucapkan pun sama. Tapi malah lebih sering berantem dan salah-salahan, bahkan sampai memusuhi dengan berbagai cara. Lihat aja di berbagai media. Isinya penuh dengan black campaign calon pemimpin yang bersuku non-Jawa non-muslim, atau gontok-gontokan di jalan antar sesama pengemudi taksi dan angkutan lainnya.
Mana yang katanya adat ketimuran? Musyawarah untuk mufakat? Toleransi dan solidaritas? Emang semuanya cuma ada di buku pelajaran PPKn. Kayak gini nih kurikulum yang bisanya cuma nyuruh murid ngapalin jawaban supaya bisa naik kelas. Hasilnya melahirkan provokator yang gampang disulut oleh perbedaan yang tidak signifikan.
Saya yakin, yang penting bukan seberapa sering kita mendengar dan mengucapkan Bhinneka Tunggal Ika. Yang lebih penting seberapa paham kita akan maknanya. Yaitu pada dasarnya dalam berhubungan antar manusia, kita mesti jadi orang yang beradab, meskipun orang tersebut jauh berbeda budayanya dengan kita.
Baca juga: Prodigy, Bakat, atau Kerja Keras?
Image header credit: picjumbo.com