“Aku sudah malas rekrut programmer dari universitas, kepingin ambil dari STM saja,”
“Lho, kenapa, Mas?” Tanyaku.
“Sudah coba rekrut beberapa anak lulusan S1, mereka suka semaunya sendiri dan sulit dikasih tahu. Merasa lebih jago, nggak mau dengerin pendapat orang lain terutama yang ada di bawahnya.”
“Oh iya ya, anak STM biasanya nurut, suruh belajar apa saja mau. Dan nggak terlalu ngotot masalah gaji.” Kelakarku.
“Iya! Aku mau-mau saja keluarin duit buat ngajarin mereka sampai jadi jago, asal dari mereka sendiri mau belajar dan nggak belagu.” Tutupnya.
Baca juga: Cari Kerja itu (Gak) Susah
***
Nah, di atas itu kutipan percakapan saya dengan seorang teman yang merupakan kepala bagian development di sebuah perusahaan berdarah campuran antara BUMN dan swasta. Beberapa tahun yang lalu.
Tak lama setelah obrolan itu, beliau (dan timnya) pergi ke Malang dan mengadakan rekrutmen di sebuah STM (atau SMK) di kota itu.
Perdebatan panjang mengenai perlu atau tidaknya seorang karyawan untuk menyelesaikan pendidikan S1-nya memang sudah ada sejak dahulu kala. Dan hingga kini rasanya belum juga ketemu bagaimana ending drama ini.
Sebelum lebih jauh, saya sengaja tak membahas mengenai dunia wirausaha, atauentrepreneurship di sini. Sebab memang saya tidak memiliki kapasitas dalam bidang tersebut.
Saya sendiri memulai karir dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Kejuruan, dan bahkan belum mendaftar ke perguruan tinggi. Untungnya saat itu ada perusahaan yang mau mempekerjakan saya.
Baca juga: Seberapa sih Value Diri Gue dan Pekerjaan Gue?
Dan setelah itu saya harus menempuh kuliah malam selama hampir 7 tahun, hanya untuk menyelesaikan S1. Benar-benar ‘harga’ yang mahal. Jelas 13 semester kuliah bukan hal yang akan saya banggakan kelak di depan anak-anak.
Sekarang ini, ketika gema start-up company makin nyaring terdengar. Kisah tentang perusahaan-perusahaan yang bergerak cepat dan dinamis, lean, agile,dan segala printilan yang menyertai, rasanya jargon ijazah dan ‘lulusan mana loe?’ semakin tidak relevan. Tapi apakah benar begitu?
Seorang teman mengatakan, itu semua kembali ke kultur perusahaan. Kultur.
Baca juga: Kalau Robot Bisa Semuanya, Manusia Kerja Apa?
Ya, memang (sepemahaman saya) tidak ada perusahaan yang mencantumkan “kami adalah lulusan perguruan tinggi” sebagai salah satu poin kultur perusahan mereka. Namun, beberapa elit perusahaan tetap saja harus membuka kembali curriculum vitae ketika menghadapi kemungkinan promosi seorang karyawan ke jenjang manajerial.
Apa iya akan mengangkat anak lulusan STM untuk jadi manajer, general manajer, dan seterusnya? Kegelisahan ini pun sebagian besar hanya berputar dalam benak, di alam bawah sadar. Perkara etika dan kepantasan praktis.
Jika bicara perusahaan dan kulturnya, saya jadi teringat tentang Google yang mulai mengubah paradigma mereka tentang bagaimana merekrut calon karyawan, terhitung sejak 2014.
Mereka belajar bahwa sudah selayaknya penentuan standar tenaga kerja yang hanya mengandalkan ijazah perguruan tinggi mentereng dunia dan hasil ujian teknis tak bisa lagi digunakan.
Laszlo Bock, bos besar HR Google mengatakan, kepada seorang wartawan The New York Times, bahwa orang-orang jenius dari universitas mentereng itu hebat dalam menyelesaikan permasalah pekerjaan yang rumit. Namun rata-rata mereka sangat miskin dalam hal ‘Intellectual Humility‘. Apa itu?
Baca juga: Sulitnya Menjelaskan Kalau Kita Kerja di Startup
Mereka, karena nyaris tidak pernah menemui kegagalan selama hidupnya, akan kebingungan ketika suatu saat harus menerima kenyataan bahwa mereka salah. Bahwa mereka telah gagal melakukan sesuatu.
Saat mencapai keberhasilan, mereka akan menepuk dada dan berkata, “ini hasil kerja saya!”. Namun ketika menemui kegagalan, mereka kemudian berdalih, dan mengatakan bahwa ini salah orang lain, bahwa kami kekurangan sumber daya, atau tentang kebutuhan pasar yang bergeser.
Saat ini Google lebih menyukai tenaga kerja yang memiliki ‘intellectual humility‘, yang mau mendengarkan masukan dari orang lain, siapapun dia.
Sebab Google ingin semua karyawannya adalah orang-orang yang memilikiability to learn. Bagaimana seseorang bisa belajar, jika tidak mau mendengarkan pendapat orang lain?
Ok, kita tinggalkan Google.
Credits: Mas Tjatur, Mas Abi, Mba Putri, Si Tika. Thank you!
Artikel ini ditulis oleh Andika Kurniantoro dan sebelumnya dipublikasikan di LinkedIn Pulse
Image header credit: jelanieshop.com