“Cities have the capability of providing something for everybody, only because, and only when, they are created by everybody.”
― Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities
Smart city itu udah jadi buzzword sekarang: semua orang ngomongin smart city tanpa banyak yang bener-bener tahu smart city itu apa.
Ziliun sendiri pernah ngebahas tentang smart city, dulu banget tapi. Seiring waktu, dari berbagai sumber yang ada, kita jadi sadar kalau sebenarnya gak ada konsep sempurna untuk mendefinisikan “kota pintar”. Kenapa? Ya karena setiap kota itu beda.
Esensi dari kota pintar sebenarnya adalah untuk mengoptimalisasi segala yang tidak terutilisasi dengan baik di kota, untuk mendobrak status quo, dan mencapai kota yang punya performance tinggi dan nyaman ditinggali. Itu esensinya, atau purpose-nya.
Baca juga: Coming (Hopefully) Soon: Smart City
How-nya? Ya tergantung kotanya. Sesimpel aplikasi macam Go-Jek hanya relevan di kota-kota dengan penggunaan sepeda motor yang tinggi. Misalnya, kalau di Asia Tenggara, ada Ho Chi Minh City di Vietnam. Ngapain juga kan Go-Jek ada di New York, gitu? Intinya sih, solusi-solusi yang menyelesaikan masalah kota dan warganya adalah dasar dari produktivitas dan inovasi, which leads to.. smart city.
Daripada ribet pake definisi ilmiah, mending kita semua lihat, apa sih yang sebenarnya dibutuhin untuk ngebangun smart city?
Partisipasi Publik
Kota itu selalu tentang warganya. Inisiatif apapun yang mendorong kota pintar gak berguna kalau gak bisa menarik partisipasi publik. Mau bangun Wi-Fi di semua sudut kota juga percuma kalau gak melibatkan manusianya, karena infrastruktur hanyalah sistem pendukung.
Baca juga: SFPark, Inovasi Smart Parking di San Fransisco
Solusi smart city yang simpel kayak Uber dan Go-Jek adalah solusi yang sifatnya open-source, peer-to-peer. Solusi ini sifatnya mandiri, gak perlu campur tangan pemerintah biar bisa jalan, karena warga sendiri terus menggunakan setelah merasakan manfaatnya. Ini yang kita maksud partisipasi publik.
Good Governance / Political Will
Sekarang Uber lagi banyak kena masalah, gak cuma di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Ya, mungkin Uber beneran punya masalah di perizinan. Atau mungkin ya, sulit untuk menerima inovasi teknologi. Tapi kita rasa alasan sebenernya inovasi-inovasi kayak gini ditentang adalah karena ada old powers yang gak terima.
Perusahaan-perusahaan taksi yang dari dulu mendominasi ngerasa bisnisnya terganggu dong oleh Uber? Hanya karena mereka ada duluan, dan (mungkin) udah banyak kongkalikong sama pejabat, jadinya punya power untuk menyulitkan inovasi-inovasi ini.
Baca juga: Masdar City, Masa Depan Eco-City di Tengah Padang Pasir
Itulah kenapa it takes good governance dan political will untuk ngebangun smart city. Smart city itu kan tentang transformasi alias perubahan. Ya kalau pejabat yang berkuasa masih pake pendekatan old-fashioned, gak bakal bisa jadi pinter toh, kota kita?
Kesediaan semua untuk buka-bukaan
Gak bisa dipungkiri salah satu isu yang mendampingi pembangunan kota menjadi kota pintar adalah isu privasi. Ya karena dalam implementasinya, kota akan mengambil banyak banget data dari warganya, yang diperlukan untuk menciptakan efisiensi dan kemudahan navigasi. Bayangin kalau tiap jalan dipasangi sensor dan memakai cloud computing dan software canggih.
Walaupun manfaatnya gede banget, kota yang selalu memata-matai warganya bisa jadi menyeramkan bagi sebagian orang, apalagi data itu kebanyakan dipegang sama pihak swasta. Ya kayak sekarang aja, provider telekomunikasi dan data Internet bisa tahu lo nelepon siapa aja (atau buka situs apa aja, bahkan saat lo incognito) xD.
Terlepas dari isu privasi, masih ada banyak PR yang harus dikerjain untuk mencapai smart city. Tetep aja, yang harus smart dulu warga kotanya. Mau infrastruktur sekeren apapun tapi kita bego memanfaatkan informasi, ngapain juga kan?
Baca juga: Developer, Ayo Mulai Perbaiki Kota dengan Teknologi!
Header image credit: cubitlab.com