“Competition makes us faster, collaboration makes us better.”
Pasti lo tahu tentang realita bahwa anak muda itu punya tenaga dan waktu, tapi gak punya uang. Orang dewasa punya uang dan tenaga, tapi gak punya waktu. Sementara, orang tua punya uang dan waktu, tapi gak punya tenaga.
We can’t have it all. In fact, we can never have it all. Makanya, kita butuh kolaborasi.
Apa? Kolaborasi? Iya, kolaborasi, yang udah kita bahas berkali-kali sampe berbuih-buih.
Analogi anak muda, orang dewasa, dan orang tua di atas tuh gak cuma berlaku pada life in general. Dalam skala besar, yaitu dalam skala penyelesaian berbagai masalah yang penting di dunia ini, kolaborasi jauh lebih matters.
Misalnya aja, semakin banyak kita temukan inisiatif-inisiatif sosial di negara kita, dari komunitas atau gerakan kecil di kampus, sampai ke bisnis sosial atau NGO yang berusaha doing good di skala nasional. Mereka ini semangat kesukarelawanannya gila-gilaan, tapi sering gak punya resources yang memadai, baik dari segi dana atau keahlian.
Baca juga: Kolaborasi Berarti Berpihak, Bukan Cuma Bekerjasama
Kedua, banyak korporasi gede yang uangnya gak terbatas, sampai-sampai–kalau berdasarkan data dari CSR Forum tahun 2013–pertumbuhan dana CSR mencapai 10 miliar rupiah per tahun. Tapi, si korporasi-korporasi ini, kayaknya gara-gara udah terlalu banyak load kerja dan udah terbiasa kerja di dalam sistem, jadi kurang bisa ngeluarin ide-ide segar yang bisa solve problems.
Ketiga, ada nih banyak profesional di luar sana, orang-orang pinter kayak researcher, engineer, dan akademisi yang gelarnya udah pake PhD–which means mereka punya expertise yang gak diragukan. Mereka ngerti cara-cara untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di luar sana dan punya pemahaman terhadap teknologi, tapi sayangnya gak punya power untuk bisa bikin sesuatu dalam skala besar.
Nah, keempat, sampailah kita pada pihak yang sering dijadikan kambing hitam, yaitu pemerintah. Pemerintah ini punya power dan punya dana, tapi sayangnya kurang fleksibel (tahulah ya birokrasi kayak apa), karena mesti mengacu ke rencana pembangunan yang udah disepakati bersama. Makanya, pemerintah butuh pihak lain yang lebih fleksibel untuk “memanfaatkan” dana dan power-nya.
Baca juga: Naik Kelas dengan Kolaborasi Antar Komunitas
Terus, empat pihak yang masing-masing punya program sendiri-sendiri ini, kapan dong ketemunya? Thank God, ada “pihak kelima” yang punya kepedulian tinggi untuk mempertemukan pihak-pihak ini. Salah satunya adalah Kreanovator. Platform kolaborasi stakeholder perubahan sosial ini didirikan atas keresahan atas upaya perubahan sosial yang saat ini sifatnya masih sporadis dan tersebar.
13 Juni ini 2015, Kreanovator mengadakan suatu acara bernama Indonesian Citizens Summit, yaitu pertemuan para pelaku perubahan sosial untuk saling berkumpul, terhubung, dan berkolaborasi. Indonesian Citizens Summit akan mengundang 5 orang menteri, 10 CEO korporasi, 40 orang profesional, dan 300 NGO atau gerakan sosial dari seluruh Indonesia.
Di Indonesian Citizens Summit, para pelaku perubahan dari empat pilar: masyarakat, korporasi, profesional, dan pemerintah, akan duduk bersama untuk berdiskusi dan berjejaring, agar masing-masing bisa berkontribusi dengan resources yang mereka punya–apakah itu dana, keahlian, teknologi, atau gagasan.
Kalau semakin banyak inisiatif untuk mengumpulkan berbagai pihak kayak gini (gak hanya dalam hal penyelesaian isu sosial, tapi juga misalnya, untuk memperbesar ekosistem industri tertentu, kayak yang dilakukan PopCon Asia), masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita kayaknya udah bakal kelar dari dulu.
Semoga semakin banyak platform kayak Kreanovator, ya. Semangat kolaborasi!
Baca juga: Kolaborasi Atau Mati
Header image credit: fredericw.com