“There are no two words in the English language more harmful than good job.”
Gue punya beberapa teman yang ambisi dan prestasinya gila-gilaan. Say, mereka bisa dapat IP 4, jadi ketua organisasi sosial, dan menang lomba internasional, semua dalam satu semester yang sama.
And then we wonder, “How the fuck do they manage to live?”
Karena gue penasaran sekaligus iri, gue pun berusaha cari tahu apa yang bikin mereka kayak gitu. The problem is, saat lo nanya sambil lalu, mereka paling ngejawab dengan jawaban yang normatif.
Baca juga: All The Advices You Know in 14 Minutes
“Hahaha apa sih gue ga segitunya, kok.”
“Ya kerja keras aja, sih. Pinter bagi waktu. Hehe.”
Hell with these normative answers.
Karena gue ga puas, gue terus mencari sesuatu yang fundamental; akar penyebab dari segala over-achieving stuffs ini.
And I get the answer.
The answer is… tough love.
When you just spend enough time with the ambitious people, mereka pada akhirnya bakal cerita sendiri hal-hal kayak gini:
“Iya. Jadi dari gue SD, orangtua gue gak pernah memuji gue atau kasih hadiah. Kalau gue ranking 2, orangtua gue bilang ‘Kenapa gak ranking 1?’. Kalau gue ranking 1, gue dibilangin, ‘Kenapa lo gak juara umum?”
Baca juga: Work Hard, Learn Hard, Try Hard
Bahkan ada yang lebih parah kayak:
“Biasanya gue masuk 5 besar. Waktu gue masuk 10 besar, gue dikurung di rumah gak boleh keluar 2 minggu.”
Oke, mungkin bagi orang awam, lo mikir orangtuanya jahat banget, ga bersyukur, contoh parenting yang buruk.
Tapi, kalau lo sempat nonton film Whiplash kemarin, ada kutipan yang bilang:
“There are no two words in the English language more harmful than good job.”
Ada istilah yang namanya carrot and stick, atau reward and punishment. Istilahnya, lo bisa memotivasi orang dengan reward, dan juga dengan punishment. Dulu waktu era di mana orang-orang masih menghargai gaya yang otoriter, punishment bisa jadi cara yang efektif. Sekarang, dengan adanya demokrasi dan dengan dijunjungnya kebebasan berekspresi, orang beranggapan bahwa motivasi itu lebih bagus pakai reward atau carrot, bukan punishment atau stick.
Tapi menurut lo aja, orang harus dikasih reward terus gitu? Orang harus dikasih makan terus egonya dengan pujian-pujian dan kata-kata “Good job” jadi mereka cepet puas?
Baca juga: Raising the Standards
Tough love itu bukan jahat, tough love itu cara untuk bikin orang push their limit. Kalau gak ada tough love, sampai kapanpun lo akan melakukan apapun dengan standar yang sama. Dan lo juga akan terus memandang anak-anak berprestasi di atas sambil ngomong dalam hati, “Makan apa sih bisa kayak gitu?”.
Tanpa tough love, lo akan selalu berpikir orang-orang tertentu memang born exceptional, dan lo simply gak exceptional. Padahal, yang lo perlukan untuk jadi exceptional, hanyalah cambuk yang ngingetin lo kalau apa yang lo lakukan belum cukup.
Baca juga: Hidup untuk Bekerja, atau Bekerja untuk Hidup?
Dan kalau lo mikir “Ya, gue kan gak punya orangtua kayak gitu. Orangtua gue penuh kasih sayang, ga bisa kasih tough love”, lo harus tahu kalau “cambuk” itu bisa berupa apa aja. Bisa lingkungan yang kompetitif, bisa juga lo ngasih makan diri lo dengan success story, dan lain sebagainya.
So if you still wonder, “How the fuck do the over-achieving guys manage to live?”
Jawabannya: tough love.
Unless you want to stick with the same standard your whole life, mending cari “cambuk” lo dari sekarang.
Header image credit: nypost.com
Comments 1