“Pendidikan bukanlah proses alienasi seseorang dari lingkungannya, atau dari potensi alamiah dan bakat bawaannya, melainkan proses pemberdayaan potensi dasar yang alamiah bawaan untuk menjadi benar-benar aktual secara positif bagi dirinya dan sesamanya.” – Butet Manurung.
Ngomongin masalah pendidikan di Indonesia, mungkin kita langsung inget sama anak SD di daerah terpencil yang susah payah mengarungi sungai demi secercah ilmu. Tapi, pernahkah terpikir tentang pendidikan bagi masyarakat terpencil yang lebih terpencil lagi, yaitu masyarakat rimba?
Ialah Butet Manurung, perempuan berdarah Batak, yang rela menembus belantara hutan Jambi demi mengabadikan dirinya untuk Sokola Rimba, sekolah yang didirikannya khusus untuk membuka literasi suku anak dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Bukit Tiga Puluh, Jambi.
Wanita yang dianugerahi penghargaan “The Man and Biosphere Award” oleh LIPI-UNESCO ini mengabadikan perjalanannya bersama Sokola Rimba sejak 25 tahun yang lalu dalam sebuah buku. Ada beberapa poin yang bisa dipetik dari pendidikan di Sokola Rimba. Here it is….
Baca juga: Masih Berpikir Kalau Pinter Matematika Itu Cerdas?
Pendidikan sebagai perisai diri
“Bu Guru mengapa mesin gergaji itu memotong pohon kayu?”
“Mungkin orang itu butuh kayu?”
“Kita potong kayu dengan parang hanya ambil secukupnya. Kalau kita pintar kita bisa tolak mereka ambil kayu kita?”
Dialog di atas bukanlah sepenggal kemirisan yang dialami orang rimba. Bukan juga kebutuhan orang rimba terhadap pendidikan agar mereka pintar dan lebih “beradab”. Apalagi ketidakberdayaan mereka memperoleh pendidikan karena adanya dogma kalau pendidikan dapat mencabut akar kebudayaan dan warisan nenek moyang mereka.
Tujuan pendidikan untuk orang rimba bagi Butet (yang juga seorang antropolog) adalah buat kepentingan hidup mereka sesuai kebutuhannya. Kalau mereka tidak ingin rumah (hutan) mereka terpinggirkan di tanah adat mereka sendiri, pendidikan adalah satu-satunya penyokong yang bisa jadi pegangan mereka kalau gak mau jadi korban pembodohan “orang terang” (sebutan orang rimba untuk pendatang), seperti ketika mereka diminta untuk membubuhi cap jempol suatu kontrak tertulis pembukaan lahan perkebunan.
Baca juga: Alasan Pendidikan di Finlandia Terbaik di Dunia: Equality of Opportunity
Seperti cuplikan kata di bukunya: “Pendidikan bukanlah proses alienasi seseorang dari lingkungannya, atau dari potensi alamiah dan bakat bawaannya, melainkan proses pemberdayaan potensi dasar yang alamiah bawaan untuk menjadi benar-benar aktual secara positif bagi dirinya dan sesamanya.”
Tidak ada standarisasi dalam pendidikan
Butet tahu bahwa siswa yang dididiknya “berbeda”. Pendidikan di Bukit Dua Belas nggak bisa disertamertakan dengan kurikulum nasional yang menggeneralisasi seluruh siswa Indonesia dengan Ujian Nasional (UN). Pun Butet menekankan sistem pendidikan berbeda yang sesuai dan dimengerti orang rimba, yaitu bermain dengan alam. Misalnya, menggunakan biji karet untuk belajar berhitung dan mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara mengeja. Lalu kalau ada siswa yang menjawab benar diberi tepuk tangan, kalau salah disebut sebagai Raja Penyakit (umpatan humoris khas mereka).
Esensi pendidikan di Sokola Rimba benar-benar terasa, karena yang mereka cari itu ilmu yang dibutuhkan buat hidup mereka, bukan sekadar nilai di atas kertas.
Mengajar untuk belajar
Butet Manurung bener-bener mendedikasikan dan meninggalkan seluruh kenyamanan hidupnya untuk Sokola Rimba. Mengajar orang rimba bagi Butet bukan hanya untuk memberdayakan mereka tetapi juga memperkaya nasionalisme Butet mengenai cara pandang, budaya, perilaku dan kehidupan orang rimba. Kapan lagi seorang antropolog bisa mencicipi sensasi asli ilmunya? “Aku mengajar di tempat ini, tetapi sesungguhnya akulah yang banyak belajar di tempat ini,” tutur Butet.
Baca juga: Education is not the same as schooling.
Header image credit: iffindonesia.com