“The best propaganda is not propaganda.” – Joseph Nye
Zaman dulu, orang-orang berusaha menunjukkan kekuasaan kerajaan atau negaranya pakai cara keras. Peranglah, invasi militerlah, dan lain sebagainya.
Sekarang, di era di mana dunia (katanya sih) udah lebih peaceful, banyak cara untuk nunjukin “kekuasaan” tanpa pake cara keras. Inilah yang namanya “soft power”.
Apa sih soft power itu? Kalau menurut Joseph Nye, ahli dari Universitas Harvard, soft power adalah kemampuan untuk menarik dan mempersuasi orang tanpa menggunakan paksaan atau uang. Contohnya adalah Korea Selatan, yang memakai soft power berupa produk entertainment–drama, K-Pop, dan lain sebagainya–untuk establishing power, sehingga bisa bikin negaranya lebih maju. Dulu sih, presiden Korea Selatan, Park Geun-hye pernah bilang: “In 21st century, culture is power.”
Baca juga: Kenapa Lo Harus Selalu “Kepepet”
Negara adidaya kayak Amerika Serikat juga sejak dulu sering menggunakan soft power sebagai strategi. Komitmen mereka untuk mengedepankan toleransi beragama berhasil menarik imigran dari latar belakang agama yang berbeda, sehingga membentuk masyarakat yang diverse. Lalu, demi mengurangi sentimen negatif dari negara-negara Arab, Amerika Serikat juga sengaja membuat Alhurra TV, sebuah kanal berita yang menggunakan bahasa Arab. Tujuannya ya, agar secara “halus”, bisa memuluskan jalan diplomasi.
Sekarang kita udah punya bayangan “soft power” itu apa, gak usah jauh-jauhlah ngomongin foreign affairs negara-negara ini. Since topik kita adalah female leaders, Ziliun pengen bahas tentang gimana perempuan bisa memakai “soft power” untuk leadership.
Pada dasarnya, perempuan itu kan (katanya) lebih lembut, lebih punya hati, dan lebih peduli tentang keadilan. Ya kalau dalam tugas kelompok aja di sekolah dan kampus, kelihatan kan kalau perempuan biasanya concern banget dengan pembagian tugas yang lebih adil, yang memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi masing-masing orang dalam suatu kelompok.
Baca juga: With Great Fame Comes Greater Responsibility
Sampai sekarang, banyak perempuan yang masih khawatir gak bisa memegang tampuk kepemimpinan, karena gak bisa “setegas” atau “sejahat” laki-laki (ada juga sih cewek yang saat jadi pemimpin lebih jutek dari cowok). Nah, sebenarnya gak perlu khawatir, karena power doesn’t have to be hard, it can be soft too.
Kita bicara tentang ini gak cuma ke perempuan, tapi ke semua orang yang merasa mereka gak bisa memakai gaya kepemimpinan yang lebih “keras”. As simple as, kalau ngerasa sungkan nyuruh-nyuruh orang ngelakuin sesuatu, coba tanya ekspektasi dan aspirasi mereka, kondisi mereka gimana, apa kesulitan yang dihadapi saat ngerjain sesuatu. Try to make compromises without losing the objective.
Ya, intinya, kalau orang udah ngerasa dimengerti, masa sih dia gak mau “tunduk” dan ngelakuin apa yang kita minta?
Gaya memimpin orang memang beda-beda. Tapi, gue pribadi percaya “soft power” adalah cara yang bisa bikin lebih banyak perempuan berani untuk memimpin. Ya, perempuan akan lebih berani memimpin kalau mereka sadar, gak perlu jadi “laki” untuk bisa disegani. Cara-cara yang dipake sehari-hari saat bersosialisasi sama orang juga bisa dibawa ke kerjaan, kok.
You don’t have to deny your nature to be a great leader.
Baca juga: Kalau Taylor Swift Bisa Masuk Daftar Fortune, Kenapa Kita Gak?
Header image credit: wardrobeuniversity.com