“Menggambar, lah! Sebelum menggambar itu dilarang!”
Sebuah seruan yang tepat mewakili fenomena yang ada sekarang. Sebelum terjadi pergeseran kondisi sosial, lebih baik berkarya, karena kita tidak pernah tahu apakah periode ke depannya, bangsa ini masih memiliki tempat bebas untuk berkreasi atau tidak. Mungkin sebelum periode kegelapan itu datang kembali, lebih baik memanfaatkan kesempatan untuk berkarya.
Selama periode emas kebebasan masih ada, maka gak heran kalau di mana pun kita berada banyak banget karya seni dalam bentuk yang beraneka ragam. Dengan jumlah tulisan, lukisan, gambar yang ga terhitung di berbagai tempat, kita jadi berpikir, siapakah mereka, otak kreatif yang membuat, dan pesan seperti apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan?
Jika menoleh pada proses pembuatan karya seni jenis apapun (lukisan, patung, gambar, musik, pertunjukan, dan lain sebagainya) pasti melewati suatu proses yang dikenal dengan sketching. Istilahnya kita bikin polanya terlebih dahulu sebelum diaplikasiin ke media yang mau kita gunakan. Nah, proses inilah yang menjadi inspirasi dan latar belakang sebuah komunitas untuk berdiri, yakni bernama Sketsaku.
Baca juga: Siapa Bilang Seniman Ga Bisa Bikin Perubahan
Sketsaku sendiri adalah wadah—atau bahasa kerennya sekarang komunitas—bagi para pecinta gambar, untuk berbagi, belajar, dan saling menginspirasi satu sama lainnya. Awalnya komunitas ini berdiri dari online shop yang menjual potret realist. Namun, karena seringnya intensitas berkumpul dan berbagi ilmu serta pengalaman, mereka mengubah konsep Sketsaku menjadi komunitas dan portal online gambar yang fokus dalam menginspirasi anak-anak muda dan lingkungan sekitar untuk bisa mengekspresikan dirinya melalui karya.
Menariknya pendirian dari komunitas ini, terletak pada makna filosofi yang pendiri Sketsaku–Septian Fajrianto atau akrab dipanggil Tian–ambil dari kata “sketsa”, yaitu sebagai ‘awal’ dari gerakan baru, agar bisa berekspresi melalui karya, dan bisa melahirkan seniman-seniman muda berbakat di Indonesia. Kita tahu bahwa pohon tidak akan rindang sebelum kita menanam tunasnya, begitu juga dengan sebuah pergerakan atau perubahan tak akan dimulai jika tidak dimulai dengan benihnya. Filosofi ini menempatkan Sketsa sebagai komunitas yang mendorong benih-benih visual artist untuk tumbuh.
Baca juga: #ziliun17: Top Ilustrator Indonesia
Untuk itu, kegiatan yang biasa dilakukan oleh Sketsaku selain kumpul-kumpul, adalah juga menyajikan karya dari teman-teman seniman melalui akun Twitter @sketsa_ku. Mereka juga rutin mengadakan offline event #GambarBareng di beberapa kota, serta ekshibisi Suryakanta di Kemang Art and Coffee Festival tahun lalu. Komunitas Sketasaku memfasilitasi beberapa artikel tentang tips, tutorial, referensi, event, dan biografi melalui situs mereka di sketsaku.com. Semuanya konsisten di bawah purpose untuk menyediakan wadah inspirasi dan ekspresi bagi para penggiat visual.
Ella Wheeler Wilcox–seorang penulis Amerika–pernah bilang, “with every deed you are sowing a seed, though the harvest you may not see”. Simpelnya, mau sebesar apapun gerakannya, kalau visinya ga jelas, ga akan memanen apa-apa. So, tepat banget kalau komunitas Sketsaku ini berdiri karena tujuan mereka gak sekadar jualan, tapi ingin menginspirasi yang lainnya untuk berkarya.
Baca juga: Industri Ilustrasi Dalam Negeri, Riwayatmu Kini
Header image credit: nos.twnsnd.co/