He who is unable to live in society, or who has no need because he is sufficient for himself, must be either a beast or a god. – Aristotle
Kutipan di atas itu nunjukin kalau manusia pada hakikatnya gak bisa hidup sendiri, karena sebagai makhluk sosial, kita butuh bantuan ataupun kehadiran dari pihak lainnya. Bayangin aja kalo ada orang yang ngerasa hebat untuk ngelakuin semuanya sendiri, punya super power kali ya.
Sesederhana aktivitas sehari-hari yaitu makan, berapa banyak pihak yang harus dilibatin dari awal menanam padi, hingga misahin gabah dari beras, belum lagi dengan lauk dan sayuran lainnya. Hanya sekadar seporsi makan siang untuk disajikan ke atas meja aja, butuh banyak pihak untuk terlibat, apalagi untuk hal yang besar.
Tapi, kayaknya masih banyak pihak yang gak sadar akan hakikat ini, bahkan di dunia per-“komunitas”-an yang mestinya sudah sering terdapat kolaborasi. Siapa mereka?
Baca juga: Don’t Burn The Bridge
Jawabannya, komunitas senior yang senga terhadap komunitas baru. Kesannya kayak anak baru gak boleh melebihi apa yang komunitas seniornya lakuin dan yang paling parah, beberapa bentuk kreativitas harus ngikutin parameter atau kebiasaan yang dimiliki oleh komunitas senior.
Inilah setidaknya yang saya dengar dari beberapa cerita. Di suatu kota di Indonesia, ada suatu komunitas seni yang tergolong “senior” yang gak jarang memicu permusuhan dengan komunitas seni lainnya, karena masih berpandangan konservatif terhadap proses mendapatkan ide, maupun hasil dan bentukan seni yang dibuat. Harus melalui proses bertapalah, meditasi, penggunaan alat-alat konvensional, dan ritual-ritual klasik yang bertujuan untuk menghasilkan seni yang cenderung murni, namun tidak terbuka dengan perkembangan situasi saat ini. Kondisi ini banyak disesalkan oleh seniman muda karena dengan berbagai perkembangan sekarang, mau gak mau hasil seni juga bisa berupa seni campuran atau kontemporer.
Inilah kesalahan yang paling fatal, karena seharusnya komunitas seni senior bisa ngebimbing komunitas-komunitas seni baru, bukan malah ngebatasin kreativitas maupun perkembangan yang ada. Seperti yang Ziliun pernah bahas, sebenarnya komunitas justru bisa “naik kelas” dengan saling berkolaborasi satu sama lain. Mungkin komunitas-komunitas seni senior ini ingin terus menjaga eksistensi, atau ingin disebut jagoan karena sepak terjang yang lebih senior kali, ya? Hmm, kalau yang namanya jagoan, tempatnya di Pasar Tanah Abang ya karena banyak preman-preman.
Baca juga: “Naik Kelas” Dengan Kolaborasi Antar Komunitas
Kita perlu memahami makna komunitas terlebih dahulu sebelum berargumen lebih lanjut dalam artikel ini. Community is a group of people with unique shared values, behaviors and artifacts. So, komunitas pada dasarnya bisa berdiri karena memiliki persamaan nilai dan pandangan terhadap sesuatu.
Terlepas dari baik dan buruknya pandangan tersebut, komunitas manapun akan selalu bertentangan dengan komunitas yang lainnya, karena perbedaan nilai maupun kegiatan di dalamnya. Contoh komunitas seni di atas cuma salah satu kasus, tapi percaya deh, hal-hal kayak gini masih banyak terjadi di berbagai bidang dan berbagai kota di Indonesia. Perbedaan nilai dan pandangan gak bisa dijadikan legitimasi bagi suatu komunitas untuk menghardik komunitas yang lainnya.
Balik lagi, komunitas itu pada hakikatnya lebih mengutamakan kebersamaan bukan ego komunal. Emang ada komunitas yang secara abadi terus berdiri dengan anggota yang sama dalam jangka waktu yang panjang? Di mana pun, keberlangsungan komunitas tetap butuh pihak lain sebagai regenerasi. Kalau engga dari sekarang berbaur dengan yang junior, mau sampai kapan sih komunitas senior bertahan?
Baca juga: Kolaborasi atau Mati
Header image credit: gratisography.com