Ziliun
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
Ziliun
No Result
View All Result

Senioritas Antar Komunitas, Mau Sampai Kapan?

PutribyPutri
17/03/2015
in Opinion
0
Senioritas Antar Komunitas, Mau Sampai Kapan?
Share on FacebookShare on Twitter

He who is unable to live in society, or who has no need because he is sufficient for himself, must be either a beast or a god. – Aristotle

Kutipan di atas itu nunjukin kalau manusia pada hakikatnya gak bisa hidup sendiri, karena sebagai makhluk sosial, kita butuh bantuan ataupun kehadiran dari pihak lainnya. Bayangin aja kalo ada orang yang ngerasa hebat untuk ngelakuin semuanya sendiri, punya super power kali ya.

Sesederhana aktivitas sehari-hari yaitu makan, berapa banyak pihak yang harus dilibatin dari awal menanam padi, hingga misahin gabah dari beras, belum lagi dengan lauk dan sayuran lainnya. Hanya sekadar seporsi makan siang untuk disajikan ke atas meja aja, butuh banyak pihak untuk terlibat, apalagi untuk hal yang besar.

Tapi, kayaknya masih banyak pihak yang gak sadar akan hakikat ini, bahkan di dunia per-“komunitas”-an yang mestinya sudah sering terdapat kolaborasi. Siapa mereka?

Baca juga: Don’t Burn The Bridge

RelatedPosts

Sekali-kali Kita Keluar dari Zona Mimpi

Libra Cryptocurrency: Is it a Good Crypto (or Not)?

Jawabannya, komunitas senior yang senga terhadap komunitas baru. Kesannya kayak anak baru gak boleh melebihi apa yang komunitas seniornya lakuin dan yang paling parah, beberapa bentuk kreativitas harus ngikutin parameter atau kebiasaan yang dimiliki oleh komunitas senior.

Inilah setidaknya yang saya dengar dari beberapa cerita. Di suatu kota di Indonesia, ada suatu komunitas seni yang tergolong “senior” yang gak jarang memicu permusuhan dengan komunitas seni lainnya, karena masih berpandangan konservatif terhadap proses mendapatkan ide, maupun hasil dan bentukan seni yang dibuat. Harus melalui proses bertapalah, meditasi, penggunaan alat-alat konvensional, dan ritual-ritual klasik yang bertujuan untuk menghasilkan seni yang cenderung murni, namun tidak terbuka dengan perkembangan situasi saat ini. Kondisi ini banyak disesalkan oleh seniman muda karena dengan berbagai perkembangan sekarang, mau gak mau hasil seni juga bisa berupa seni campuran atau kontemporer.

Inilah kesalahan yang paling fatal, karena seharusnya komunitas seni senior bisa ngebimbing komunitas-komunitas seni baru, bukan malah ngebatasin kreativitas maupun perkembangan yang ada. Seperti yang Ziliun pernah bahas, sebenarnya komunitas justru bisa “naik kelas” dengan saling berkolaborasi satu sama lain. Mungkin komunitas-komunitas seni senior ini ingin terus menjaga eksistensi, atau ingin disebut jagoan karena sepak terjang yang lebih senior kali, ya? Hmm, kalau yang namanya jagoan, tempatnya di Pasar Tanah Abang ya karena banyak preman-preman.

Baca juga: “Naik Kelas” Dengan Kolaborasi Antar Komunitas

Kita perlu memahami makna komunitas terlebih dahulu sebelum berargumen lebih lanjut dalam artikel ini. Community is a group of people with unique shared values, behaviors and artifacts. So, komunitas pada dasarnya bisa berdiri karena memiliki persamaan nilai dan pandangan terhadap sesuatu.

Terlepas dari baik dan buruknya pandangan tersebut, komunitas manapun akan selalu bertentangan dengan komunitas yang lainnya, karena perbedaan nilai maupun kegiatan di dalamnya. Contoh komunitas seni di atas cuma salah satu kasus, tapi percaya deh, hal-hal kayak gini masih banyak terjadi di berbagai bidang dan berbagai kota di Indonesia. Perbedaan nilai dan pandangan gak bisa dijadikan legitimasi bagi suatu komunitas untuk menghardik komunitas yang lainnya.

Balik lagi, komunitas itu pada hakikatnya lebih mengutamakan kebersamaan bukan ego komunal. Emang ada komunitas yang secara abadi terus berdiri dengan anggota yang sama dalam jangka waktu yang panjang? Di mana pun, keberlangsungan komunitas tetap butuh pihak lain sebagai regenerasi. Kalau engga dari sekarang berbaur dengan yang junior, mau sampai kapan sih komunitas senior bertahan?

Baca juga: Kolaborasi atau Mati

Header image credit: gratisography.com

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Suka Memuat...
Tags: Articleskolaborasikomunitaspola pikir
Previous Post

Menolak Santun

Next Post

Indorunners, Melarikan Kaum Urban Indonesia

Next Post
Indorunners, Melarikan Kaum Urban Indonesia

Indorunners, Melarikan Kaum Urban Indonesia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Yang Terbaru

  • Fenomena Media Alternatif: Efektif Tapi Bisa Bawa Dampak Negatif
  • Fenomena Konser Ramah Lingkungan, Gimana Praktiknya?
  • Mengenal Apa itu Chronically Online
  • Apakah Demokrasi Adalah Sistem Pemerintahan Terbaik?
  • Mengenal Filsafat Stoikisme
Ziliun

Media yang menemani perjalanan anak muda untuk menghadapi kehidupan dan memasuki dunia kerja, serta mendorong dan memotivasi anak muda untuk menjadi versi terbaik diri mereka.

  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kerja Sama

Ruang & Tempo Coworking Space

Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No. 8, Jakarta Selatan 12210

Bikin kontenmu sekarang!

© 2025 Ziliun All rights reserved.

Ziliun

  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space

© 2025 Ziliun All rights reserved.

%d