Seno Gumira bilang, “Yang paling berbahaya itu bukan kematian media, tapi kematian kreativitas”.
Siapa belum kenal sama Sweta Kartika? Beberapa waktu lalu, ziliun sempat menulis profil Sweta di sini. Kali ini ziliun berkesempatan ngobrol langsung dan ngulik-ngulik seputar kesibukan Sweta belakangan ini. Seperti yang kita tau, Sweta mendirikan sebuah studio ilustrasi dan desain yang memusatkan karya-karyanya pada desain visual tradisi Nusantara, bernama Wanara Studio. Saat ini, Sweta sudah menerbitkan banyak komik seperti “The Dreamcatchers” dan “Wanara”.
Saat ini, Mas Sweta sedang sibuk bikin project apa aja nih?
Saat ini saya sedang memegang 4 project komik: Grey & Jingga yang terbit setiap hari Senin dan Kamis di Facebook, Piraku x Piraku yang terbit setiap Sabtu di LINE Webtoon, Pusaka Dewa yang terbit di web Ragasukma, dan yang terakhir ada komik lepas Kalau Monyet Jatuh Cinta untuk diterbitkan di Mizan.
Gimana cara Mas Sweta membagi waktu dalam project yang segitu banyaknya?
Dalam pengerjaan komik serial, yang paling menjadi modal sebetulnya ketersediaan cerita. Selama saya punya stok cerita (dalam bentuk script ataupun storyboard), saya akan lebih mudah menangani pengerjaannya. Membagi waktu bukan hal sulit.
Baca juga: Esensi Acara di Jakarta
Yang saya andalkan adalah kecepatan saya dalam menggambar. Contohnya, dulu ketika mengerjakan Nusantaranger, selama stok cerita sudah ada, saya bisa mengerjakan 20 halaman dalam 5 hari saja (ada sambil dibantu oleh asisten toning dan warna).
Hal kedua adalah saya sudah paham agenda terbit judul komiknya. Misalnya komik Piraku x Piraku di LINE Webtoon harus sudah distok ke editor pada hari Kamis. Berarti hari Selasa sampai Rabu, saya sudah harus mulai mengerjakan. Selasa untuk sketsa dan inking. Rabu untuk colouring. Kalau Grey & Jingga relatif lebih santai karena bentuknya strip komik. Biasanya 2 jam sebelum tayang pun bisa saya kerjakan. Sedangkan untuk komik Pusaka Dewa yang tidak ada ketetapan penayangan (agenda terbit), biasanya lebih santai mengerjakannya. Boleh dibilang, Pusaka Dewa adalah satu-satunya komik yang paling liar dalam pengerjaannya. Itu aja sih.
Baca juga: Kata Badan Ekonomi Kreatif, Kreator Bisa Kredit Rumah Pake Sertifikat HaKI
Selama Mas Sweta berkarya, ada nggak sih kegagalan terbesarnya sebagai creator? Jika ada, bagaimana cara menghadapi kegagalan tersebut? Menurut Mas Sweta tolak ukur kegagalan suatu karya itu seperti apa sih?
Saya sendiri kurang paham soal kegagalan berkarya.
Mengutip kata-kata Seno Gumira, “Yang paling berbahaya itu bukan kematian media, tapi kematian kreativitas”.
Jadi, selama saya punya kreativitas, selama itu pula saya tidak pernah merasa gagal. Mungkin yang biasanya membuat saya sedih adalah ketika karya saya kurang disukai oleh target market pembaca. Itu artinya, ada formula yang salah saat pengerjaannya. Tapi hal ini jarang terjadi sekarang.
Baca juga: Wajib Tahu: Ada Superhero Indonesia yang Namanya Saepul!
Ceritakan dong proses kreatif satu karya Mas Sweta yang mempengaruhi cara kerja Mas Sweta terhadap karya yang lain.
Semua serial komik pasti mempengaruhi jadwal hidup saya. Dimulai dari komik Wanara di tahun 2011, sampai yang terbaru, komik Piraku x Piraku. Dengan membuat serial komik, saya dituntut untuk lebih disiplin, persistence, dan konsisten. Selain itu, modal – modal utama, seperti konsep cerita, strategi marketing, konsep penayangan, stok plot, dan sebagainya harus dipikirkan sejak awal, sebelum karya dimulai.
Sebetulnya setiap karya yang saya buat pasti mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Terutama dalam penataan emosi. Contohnya, ketika menulis komik Wanara, saya tidak terpikir untuk memasukkan tokoh wanita di dalamnya. Di tengah proses pengerjaan Wanara, saya secara pararel mengerjakan Grey & Jingga yang sarat akan emosi dan intrik relationship. Setelah lama belajar dari Grey & Jingga, saya memasukkan unsur percintaan di komik Wanara sejak season keduanya di chapter #10.
Selain dari sisi konten, proses pengerjaan satu judul juga mempengaruhi saya dalam memahami proses pengerjaan judul yang lain di masa mendatang. Misalnya, ketika mengerjakan Nusantaranger dengan stok 40 halaman per bulan, saya dituntut untuk lebih disiplin daripada ketika saya mengerjakan Wanara yang hanya 24 halaman per bulan. Jadi, kedisiplinan saya mengerjakan Nusantaranger sebetulnya merupakan buah dari latihan mengerjakan komik Wanara selama 1.5 tahun di Makko.
Image header credit: carrotacademy.com