“Aku sebarin ke petani, gini lho biar hamanya gak menyebar, bisa pakai urin kelinci, kalau pakai pestisida kan mahal. Petani kan jarang googling. Kita sebagai yang di kota kan aksesnya tinggi. Jurnal itu dibaca, dijelaskan ke dia.” – Pepeng
Pernah dengar tentang Klinik Kopi? Kedai kopi di Yogyakarta yang diinisiasi oleh Pepeng (@escoret) ini punya misi mengedukasi pengunjungnya tentang bagaimana menikmati kopi dengan benar, dan juga berbagi cerita di balik setiap kopi yang dihidangkan. Gak cuma mengedukasi pengunjung, Klinik Kopi juga mengedukasi petani kopi untuk kondisi perekonomian yang lebih baik.
Ziliun sempat ngobrol singkat nih dengan Mas Pepeng, tentang Klinik Kopi dan edukasi yang dilakukannya ke petani.
Awalnya kenapa sih Mas Pepeng membuat Klinik Kopi?
Menurut saya memang kopi harus dibikin seperti itu. Kalau orang dateng dan cuma bicara dengan menu, menurutku gak seperti itu. Makanya aku bikin konsepnya sambil ngobrol, kamu mau kopi apa? Mereka minum kopi, mereka jadi tahu apa yang mereka minum. Ketika dia minum pun, dia harus tahu asal-usul kopinya dari mana.
Kenapa akhirnya aku ke petani, karena aku selalu dapat kopi jelek kalau ke tengkulak. Jadi aku datang ke petani. Dengan datang ke petani, aku bisa kontrol kualitas, ‘Aku mau yang kualitasnya kayak gini ya. Aku minta yang grade A, aku minta yang kadar airnya sekian’.
Di tengkulak gak bisa, dia tahunya kopi ya yang gitu. Kalau mau beli, monggo, kalau gak beli ya gak apa-apa. Dengan petani kita bisa diskusi, bahkan kita bisa sharing macem-macem, gimana pengolahannya.
Baca juga: Q&A: Shafiq Pontoh dan Indonesia Berkibar, Menjahit Benang Merah Gerakan Pendidikan
Petani dapet sesuatu gak dari diskusi itu?
Oh iya, kualitas kopinya jadi berubah. Yang biasa kualitasnya ke pasar paling harga 20 ribu/kg, aku bisa beli 50-60 ribu/kg. Prinsipku sih gampang sih, asal kita bisa mengubah kopinya, kita bisa mengubah kuantitasnya, bisa mengubah kualitasnya, kita bisa mengubah perekonomian dia, gitu.
Jadi jangan punya pikiran mengubah manusianya dulu, tapi mengubah kopinya dulu.
Gini misal ya, kopi kan biasanya dipetik waktu belum merah. Kenapa gak merah, karena petani buru-buru, pengen cepet dapat uang. Nah, aku jelasin, ‘Kalau kamu kopinya merah, harganya segini. Kalau kamu petik sebelum merah, nanti aku gak mau beli’.
Otomatis dia mulai petik waktu sudah merah, karena dia dapet harga lebih bagus.
Jadi petani gak tahu ya Mas, kalau dia lebih sabar dan hati-hati, akan lebih untung?
Ya, rata-rata dari petani hampir semuanya pasti gak tahu. Kalaupun tahu, cuman males, karena dia ngejar cepatnya aja. Padahal kan (kalau lebih sabar) kopinya enak, lebih manis.
Di semua wilayah biji kopi sama aja sih, yang membedakan budaya mereka nanem, budaya mereka panen. Yang mempengaruhi kualitas adalah pola tanam, pola petik, pola budayanya. Menurut aku kopi enak ya cerminan dari budaya mereka yang bagus.
Kalau pertama kali ngobrol dengan petani, susah gak sih Mas berdiskusi dengan petani? Apa ada dari mereka yang males, gak mau berubah?
Simpel kok. Jadi pas kesana, aku bawa kopi yang aku punya, yang biasa aku minum. Biar dia langsung nyicipin.
Jadi dia nyicipin kopi yg bikinan Klinik Kopi, terus aku juga suruh nyicipin kopi yang dia punya atau yang biasa dia minum. Rata-rata kaget kan.
Baca juga: Pengajar Muda: Pendidikan itu Mencerahkan, Bukan Mengarahkan
Mereka bilang, ‘Kok kopinya Mas Pepeng lebih enak?’
Aku jawab, ‘Kopi Bapak juga bisa lebih enak, asal petiknya seperti ini, asal panennya kayak gini.’
Mereka nyoba dulu, kalau mereka gak nyoba ya gak tahu.
Rata-rata kaget, gak pake gula kok enak? Ya gak pake gula bisa enak, asal petiknya merah. Mereka masih beranggapan kopi itu pahit. Gak juga, di Klinik Kopi gak ada gula dan gak ada susu. Tetep manis walaupun gak pake gula. Kalau petik merah, dia pasti manis.
Kalau pengunjung-pengunjung Klinik Kopinya sendiri, dengan mereka denger cerita tentang kopinya, apa sih yg Mas harapkan?
Ya mereka jadi tahu apa yg mereka minum, simpel gitu aja. Dengan dia tahu apa yg dia minum, dia jadi respect.
Jadi Mas pengen yang minum lebih menghargai kalau ini ada proses yang gak mudah?
Yang kita makan aja beras sehari-hari, kita gak tau itu ditanem dimana. Mbak tahu yang pagi-pagi dimakan itu ditanam dimana? Gak tahu kan, tahunya makan aja. Kita gak tahu ditanem di mana, kita gak tau petaninya siapa. Kita gak tau keuntungannya petani itu berapa.
Yang untung itu kan tengkulaknya. Nah, dengan aku beli langsung ke petani dengan kualitas kopi grade tertentu, itu memotong rantainya, artinya petani yang lebih untung.
Baca juga: Q&A: Ibu Guru Kembar, Berbagi Cinta Lewat Pendidikan
Murah itu kan karena kualitasnya jelek. Kalau udah sampai tengkulak, aku gak bisa ngapa-ngapain. Dengan ke tempat petani, aku bisa tahu, bisa kontrol kualitas. Dan menurutku yang paling penting adalah, ketika kopi ada cerita, itu lebih menarik. Kalo kopi tanpa cerita, ya cuma air putih warna hitam.
Kalau gak gitu, ya percuma, kayak kita dateng ke coffee shop gitu, beli terus foto-foto di Instagram, udah, tp kita gak tahu apa yg kita minum.
Menurut Mas gimana sih biar lebih banyak yg punya inisiatif untuk ngajarin petani biar bisa lebih berdaya?
Aku sih, ya buat konsep kayak gini. Kalau orang terinspirasi dan ngikutin, aku seneng, karena akan lebih banyak yang teredukasi.
Kalau kita nunggu pemerintah (mengedukasi petani), ya gak selesai-selesai. Ya karena ini hobi, jalani aja apa yang kita bisa.
Petani kan gak update informasi, kalau mau meningkatkan kualitas kopi dan lebih untung, harus update informasi kan. Aku banyak temen di luar negeri. Di luar negeri kan banyak sumber informasi, jadi aku sharing sama temenku, kalo pengolahannya gini, gimana.
‘Oh, ini gak boleh dijemur langsung,’ gitu aja diskusi.
Petani gak bisa gitu, mereka tahu yang seadanya aja.
Kalau aku sih selain diskusi dan nanya-nanya, juga baca-baca jurnal. Misalnya, hama kopi penanggulangannya gimana, aku baca-baca jurnal. Aku nanem kopi sendiri di rumah, buat eksperimen gitu. Eh, ternyata penanganan hamanya bisa pakai urin kelinci.
Aku sebarin ke petani, gini lho biar hamanya gak menyebar, bisa pakai urin kelinci, kalau pakai pestisida kan mahal.
Petani kan jarang googling. Kita sebagai yang di kota kan aksesnya tinggi. Jurnal itu dibaca, dijelaskan ke dia.
Header image credit: laughonthefloor.com
Comments 1