“If it is something that can help others, something that you’re going to be happy doing it, then believe in your cause and make time to make it happen. “ – Nia Sadjarwo.
Siapa sangka pecahan uang Rp 100 yang suka kita abaikan di kantong kita ternyata memberi harapan besar bagi orang lain? Dari wawancara Ziliun bareng Nia Sadjarwo, founder dari gerakan Coin A Chance, yang didirikan sejak 2008, kita jadi tahu seberapa besar sesuatu yang kecil dapat memberi nilai bagi orang lain.
Apa motivasi Mbak Nia dulu mendirikan Coin A Chance? Bagaimana awalnya Mbak terpikir untuk mengumpulkan recehan sebagai gerakan sosial?
Motivasi awal kami (saya dan sahabat saya, Hanny Kusuma) berangkat dari kepedulian kami pada pendidikan. Kami percaya bahwa pendidikan harus dimulai sedini mungkin. Jadilah kami fokus membantunya dari anak-anak, bahkan usia PAUD
Kalau untuk koinnya sendiri, saya dan Hanny memang sudah mengumpulkan sejak lama. Kami masing-masing punya jar di meja di kantor yang isinya koin. Lalu kami berpikir, kalau digabungkan mungkin jumlahnya cukup besar dan mungkin dapat berguna bagi orang lain.
Baca juga: Ainun Chomsun: Di Social Media, Tidak Ada Batasan Gender
Pada awalnya kami ingin membangun sekolah. Tapi kami menyadari bahwa dana yang dibutuhkan sangat besar. Akhirnya kami memutuskan jika belum bisa membangun sekolah, bagaimana kalau kita mulai dengan membantu satu orang anak saja dulu. Anak yang kemauan sekolahnya tinggi, namun hampir putus karena tidak ada biaya karena berasal dari keluarga kurang mampu.
Saya dan Hanny adalah konsultan komunikasi yang cukup aktif di social media. Kami coba sampaikan ide kami tersebut via blog. Ternyata tanggapan teman-teman netizen sangat positif. Sejak itu sisanya snowball effect. Tanpa teman-teman netizen mungkin Coin A Chance! tidak akan sebesar sekarang. Mungkin kecil jika dibandingkan social activism lain, namun bagi saya dan Hanny, ini sudah lebih dari apa yang kami bayangkan.
Hingga saat ini gerakan Coin A Chance terus tumbuh dan berkembang secara independen di berbagai kota, bagaimana cara Mbak Nia menciptakan keberlangsungan dan menjaganya untuk tetap sustainable?
Memulai sesuatu itu mudah, menjaganya agar tetap bertahan justru yang sangat sulit. Oleh karena itu setiap kali ada permintaan dari kota lain untuk membuka cabang CAC! di kota mereka, kami selalu kembalikan lagi dan menanyakan apakah mereka cukup yakin sanggup untuk berkomitmen jangka panjang. Karena tidak semua orang lho mau bertahan.
Baca juga: Q&A: Mayumi Haryoto, Tetap Kompetitif di Tengah Stereotipe dan Double Standard
Itu adalah salah satu pelajaran terbesar yang kami alami. Tapi kalau mereka menyanggupi, barulah akan kami proses sesuai guidelines yang sudah kami susun. Seandainya mereka belum yakin, kami biasanya menyarankan membantu dengan cara lain. Misalnya: ikut mengumpulkan koin lalu dikirimkan ke cabang CAC! terdekat, atau menggunakan uang koin tersebut untuk kegiatan sosial lainnya tanpa harus membawa bendera CAC! Bagi kami tidak masalah. Intinya, kita saling membantu dan tujuannya baik.
Kami sangat menyeleksi permintaan untuk membuka cabang CAC! karena salah satu cara kami menjaga keberlangsungan adalah dengan membantu seluruh adik yang kami biayai hingga tamat SMU. Jadi tidak sekali bantu lalu selesai. Ini salah satu komitmen kami supaya tetap semangat mengumpulkan koin.
Selain itu, generasi pengurus juga penting. CAC! Yogyakarta adalah yang paling aktif regenerasi karena pengurusnya rata-rata mahasiswa. Cara lain untuk menjaga keberlangsungan adalah dengan menjalin hubungan dengan sekolah, keluarga, dan sesi mentoring dengan adik-adik setiap 1-2 bulan sekali.
Mengapa Mbak Nia memilih social media untuk menyebarkan gerakan? Apa manfaat dan tantangannya?
Selain gratis, social media penyebarannya terjangkau secara global, dan real time. Kami juga cukup menguasai penggunaannya. Sebagai konsultan komunikasi, kami sangat bersyukur karena memiliki teman social media yang dengan senang hati mendukung gerakan kami. Tanpa penggunaan social media mungkin kami tidak akan mempunyai network di Washington DC dan di Eropa. Namun, tentunya ini semua juga memungkinkan dengan adanya dukungan tambahan dari teman-teman media tradisional.
Berbicara mengenai female leaders, menurut Mbak Nia, apa kelebihan perempuan ketika Ia menjadi pemimpin dibandingkan laki-laki?
Saya pribadi tidak pernah memandang gender berperan besar terhadap kemampuan seseorang dalam memimpin. Saya termasuk yang percaya bahwa semuanya kembali ke karakter setiap individu, pengalaman, serta kemampuan untuk berempati terhadap orang lain. To me personally, leadership is much to do with understanding people and allowing them the chance to understand you and your vision by communicating with them in a way so as to earning their support and respect, which is equally important.
Apa pesan Mbak Nia untuk perempuan Indonesia yang ingin menjadi pemimpin?
Sekecil apapun ide yang kalian miliki, jangan pernah takut untuk memulai. Kalau kalian percaya bahwa ide tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain, maka segera jalankan. If you’re lucky enough, find someone who shares your passion — they way Hanny and I did. So, if it is something that can help others, something that you’re going to be happy doing it, then believe in your cause and make time to make it happen.
Baca juga: Valencia Mieke Randa, Sebarkan Nikmat Berbagi Melalui Blood For Life
Header image credit: knowledge.land