“Mungkin karena ada double standard, gue bisa memahami akhirnya why some women jadi bitchy sebagai defense mechanism, untuk nunjukin otoritas than all the other guys…” – Mayumi Haryoto
Mayumi Haryoto mulai bekerja sebagai pekerja kreatif sejak berusia 19 tahun. Ia menjadi art director di berbagai proyek game, film, dan record label, hingga memenangkan penghargaan Best Album Cover di Asian Voice Independent Music Awards 2009 untuk album grup musik SORE. Pada tahun 2013, Mayumi mendirikan Fabula, sebuah agensi dan talent management untuk para ilustrator.
Kemarin, gue mendapat kesempatan ngobrol dengan Mayumi Haryoto, tentang standar ganda, dan bagaimana ia terus persistent di tengah stereotipe masyarakat terhadap perempuan.
Dari dulu lo pernah mikir gak kalau suatu saat akan make a business dari profesi lo sebagai ilustrator?
Standar orang kayak gue, karena dari kecil sukanya gambar, terus sempat pengen bikin komiklah, sempat pengen bikin game-lah, sempat pengen bikin filmlah. Intinya dari suka gambar itu, begitu masuk ke industrinya, ternyata perjalanannya belum kelar, karena industrinya luas banget, subsektornya banyak banget.
Problem utama orang-orang dengan profesi gue itu, market di Indonesia itu kecil. Lebih kayak, di Indonesia itu, karena kita negara berkembang, ceiling-nya pendek, atapnya tuh pendek banget. Jadi kayak lo ngerasa potensi lo segini nih, realitanya yang baru keluar tuh segini doang. Lo yang baru keluar segini aja, orang udah mengelu-elukan lo. Padahal sementara lo tahu, shit man, lo masih bisa berkembang sampai sini. Tapi kok mentok ya? Udah segini doang, gak ada lagi nih?
Baca juga: Q&A: Dhyta Caturani, Membebaskan Diri dari Belenggu Patriarki
Cara paling gampang untuk berkembang adalah cabut ke luar, cari kerja di luar, yang market-nya lebih besar. Akhirnya gue melakukan hal itu. Tapi pas sampai di sana gue merasa hampa, kayak shit man, gue ngapain di sini. Mendingan gue pulang. Gue nyampe sana, gue dapet kerja, tadinya I thought that’s what I want, tapi begitu gue udah sampe sana, gue ngerasa, you know what? Mending gue balik dan try to make change aja.
Dan gue realize menaikkan ceiling itu bukan sesuatu yang gue bisa lakukan sendiri. That’s why gua mencoba buka bisnis sendiri, terus kerjasama sama temen-temen. Intinya gue udah sampai titik di mana kalau gue mau bikin perubahan, gue percaya gak ada satu solusi besar, yang ada tuh ripple effect, you make your own ripple.
Jadi toh kalaupun akhirnya I make a business out of this, itu lebih buat gue cuma sekadar next step aja, tapi bukan dari kecil gue pikirin gue udah mau jadi pengusaha. It just comes naturally aja kalau dari gue, lebih intuisi, kayaknya after this ke sini, after this ke sana.
Baca juga: Q&A: Valencia Mieke Randa, Sebarkan Nikmat Berbagi Melalui Blood For Life
Di industrinya sendiri, masih ada gender discrimination gak sih?
Belakangan sih udah gak sih. Tergantung sub yang mana, kalau misalnya kayak di fesyen banyakan cewek. Kalo ilustrasi yg technical banget, itu banyakan cowok. To be honest, kalau masalah skill, gue tidak pernah ada masalah dengan gender. Kebetulan gue orangnya juga kompetitif.
Tapi kalau disangkutpautin sama gender, kayaknya kalo profesi apapun, selalu ada first impression yang beda kali ya. Kayak misalnya pernah zaman dulu banget, gue masih freelance, gue dateng ke PH (production house), gue dipanggil sebagai animator. Begitu gue dateng ke PH, mungkin ekspektasi mereka animator bentuknya gimana kali, ya. Kalau PH tuh kan biasanya ada dua pintu masuk ya. Pas gue masuk pintu utama, sama orangnya dibilang, kalau mau casting masuk dari sebelah sana aja. Gue kesel, gue jawab, “Eh, gue mau ketemu sama produser ya, gue animatornya.”
Adalah yang gitu-gitu, kejadian-kejadian kayak gitu. Misalnya gue ngurus Kreavi atau Fabula, adalah misalnya gue ngomongin bisnis, lo sebagai cewek, you wanna be taken as a business partner, bukan potential mate. Itu sih akan selalu ada sih, kayak gue mau ngomongin bisnis, malah diajak flirting.
Gue gak tahu apa keadaan sekarang lebih baik, atau di satu sisi guenya sendiri udah lebih dewasa, gue lebih tahu cara membawa diri. Jadi gue gak tahu faktornya yang mana hahaha…
Fabula sendiri itu bukan bisnis yang common kan, I mean like, talent management buat ilustrator gitu. Dan itu membawa suatu purpose. Gue berasumsi bahwa itu lebih sulit, karena gak banyak yg melakukan itu. Gimana cara lo meng-empower diri lo sendiri agar selalu semangat melakukan itu? Karena ga banyak orang melakukan hal yang sama.
Kalau ragu sih, selalu pasti kadang adalah masa-masa ragu, ya cuma harus di-overcome aja. Kalau bukan gue yang believe it’s gonna work, siapa lagi? Emang gue gak bilang sekarang udah lancar juga, sekarang masih struggling.
Intinya awalnya gue ngebikin agency ini tujuannya satu: pengen bikin standardisasi lah, soalnya banyak orang-orang terutama ilustrator-ilustrator ini, masalah harga, how to deal with client, bentuk kerjasama, apa segala macem, mereka kan banyak yang gak paham.
Biar tetap semangat, ya it’s just what I have to do. Gue tipe orangnya yang persistent kali ya. I’m not gonna stop. Toh kalopun gue agak nge-drop, terus gue inget ini banyak artis-artis baru yang ngarepin banget, ya udahlah I have to do this.
Gue ga tahu kalau di environment lo gimana, as far as i know, cewek tuh banyak yang takut speak up karena takut dibilang bitchy, atau dibilang bossy. Gue mau nanya pendapat lo aja. Apa sih sebenarnya yang salah, apa sih sebenarnya yang bisa bikin itu berubah?
Kalau takut dibilang bitchy sih, gue tipe orang yang bodo amat orang mau mikir apa. Tapi gue bisa memahami kenapa sebagai cewek yang nge-lead, kesannya akhirnya dia bitchy, karena double standard kali ya. Double standard-nya itu misalnya gini, ini contoh kasus, kayak misalnya pas gue di Altermyth (perusahaan pengembang game), gue presentasi ke Board of Director, terus gue punya strategi-strategi gimana gue akan melakukan ini ke anak-anak tim gue. Ada aja yang ngomong, “Mungkin karena lo cewek kali ya jadi style lo nurturing”.
Baca juga: Ibu Risma: Jangan Jadi Entrepreneur Hanya Karena Bosan di Rumah!
Menurut gue itu komentar-komentar yang sexist. Loh ya emangnya kenapa, tiap orang punya leadership style beda? Dan gue bukan tipe leader yang ngedikte. Gue sukanya yang demokratis aja. I like to have inputs dari anak-anak gue, bukan karena gue cewek atau apa. Mungkin karena ada double standard, gue bisa memahami akhirnya why some women jadi bitchy sebagai defense mechanism, untuk nunjukin otoritas than all the other guys, karena gak taken seriously.
Di dunia kerja sendiri, setiap lo mau nge-lead atau ngebawa diri, lo keep in mind gak sih kalau lo cewek? Misal, gue cewek nih berarti gue harus lebih gini, atau gak boleh terlalu gitu.
Mungkin karena gue waktu kecil juga tomboi. Kakak gue dua-duanya laki-laki. Sepupu yang gue deket juga laki-laki semua. Even nyokap gue juga tipe cewek yang apa ya, career woman lah, jadi dia don’t have a lot of time, gak kayak nyokap-nyokap lain lah ya. Kayak waktu gue sekolah dulu, nyokap-nyokapnya pada ngumpul. Nyokap gue mana pernah kayak begitu, kerja mulu.
It just never crosses my mind kalau cewek tuh harus begini-begini. Gue consider action-nya not based on gender sih, tapi based on experience sebagai human being aja. Kayak pas umur 20-an gue tuh suka kesel dan suka marah-marah kalo misalnya, kayak tadi gue cerita, gue mau meeting ngomong kerjaan, malah some guys ngajakin flirting.
Baca juga: Nadine Zamira: Menghidupkan Taman Kota di Jakarta Lewat Kampanye Hidden Park
Zaman dulu, gue balik marah-marah karena gak taken seriously. Sekarang kalau ada yang begitu gue udah lebih santai. Let’s say gue masuk ruang meeting, ada tiga orang. Dari tiga itu, ada satu yang ngajak gue flirting. Gue mikir ya udah, satu orang ini udah bisa gue kontrol , tinggal yang dua lagi aja gimana. Persepsi gue udah beda. Kalo dulu kan I take that as an insult.
By the way, gue gak enak ngomong gitu, politically correct gak sih? Jadinya gue sexist balik juga hahaha…
Okee.. lucu sih lucu hahaha… Terakhir, lo mau ngomong apa sih ke cewek-cewek di Indonesia?
I think, get to know your strength. Lo harus gali terus strength lo di mana, weakness lo di mana. Jangan terpaku sama stereotipe.
Misalnya kayak, ada tanggepan cewek yang karirnya maju love life-nya berantakan, atau anaknya gak keurus. Itu kan stereotipe-stereotipe yang sebenarnya gak bener. Gitu aja sih, jangan terpaku sama stereotipe ini.
Yang penting appreciate differences aja sih. Kadang gue liat nih ya, cewek justru tend to be prejudiced by other women. Dan dari pengalaman gue, apalagi karena gue anaknya tomboy, 70% temen gue laki semua. Why? Karena pas zaman muda gue merasa intimidated sama temen cewek. Mungkin kalau gue mau ngomong ke sesama cewek, be less prejudice to other women.
Header image credit: epicantus.tumblr.com