Dunia teknologi membuat para perempuan jauh lebih fleksibel untuk bekerja di rumah, anytime, sehingga kita sekarang tidak harus memilih antara keluarga dan karir. — Betti Alisjahbana
Ibu Betti kan lulusan arsitektur, bagaimana akhirnya bisa berkarir di industri teknologi dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur? Apa yang membuat Ibu memilih jalur ini?
Saat masuk di IBM, saya sebenarnya ingin belajar tentang management sehingga nanti saya bisa berdiri sendiri dan punya perusahaan sendiri. Tadinya saya hanya berencana empat sampai lima tahun saja berkerja di IBM. Ternyata saat saya masuk IBM, saya melihat bahwa dunia teknologi itu sangat menarik terutama karena teknologi membuat hidup kita menjadi lebih mudah.
Dan untuk perempuan, teknologi itu membantu kita mempunyai flexibilitas lebih banyak sehingga kita bisa bersaing jauh lebih baik dengan laki-laki. Itu yang menyebabkan saya yang tadinya hanya berencana 4 tahun malah bisa stay sampai hampir 24 tahun.
Bagian akhir dari karir, saya lebih banyak belajar tentang management dan relationship. Awal-awalnya memang banyak bersentuhan teknologinya, tapi setelah menduduki jabatan sebagai manager, middle manager, lalu ke executive position saya lebih banyak belajar ke arah leadership meskipun pengentahuan tentang teknologinya juga penting.
Baca juga: 5 Anthems for Female Leaders
Banyak perempuan yang masih takut untuk speak up dan berkarya karena tertahan oleh stereotipe di masyarakat. Apa sih katalis yang bisa membuat perempuan lebih berani untuk berkarya?
Seringkali kita yang menentukan kita mau jadi apa, bukan orang lain. Selama kita punya pikiran positif kita buktikan saja bahwa kita bisa. Pendekatan yang saya lakukan adalah saya tidak akan membiarkan orang lain men-stereotipe-kan diri saya, yang menentukan saya seperti apa adalah saya. Apa yang saya inginkan, apa tujuan saya, dan kemudian mengatur langkah-langkah bagaimana tujuan itu bisa tercapai.
Pengalaman apa yang bisa Ibu share ke teman-teman, mengenai tantangan dan hambatan sebagai wanita berkarir dan memimpin banyak orang? Misalnya, orang-orang yang bilang kalau perempuan seharusnya tidak berkarir? Lalu apa yang Ibu lakukan?
Seringkali tantangan perempuan adalah bagaimana mengatur waktu karena kita mempunyai banyak tanggung jawab, dan itu yang harus kita siasati supaya kita tidak harus memilih salah satu antara karir dan keluarga. Karena sebetulnya kita bisa memilih keuanya, kita tidak harus memilih salah satu. Kita bisa berhasil di keluarga dan bisa berhasil dalam pekerjaan.
Kuncinya adalah kita tau apa yang kita mau, kita konsisten, kita membuat rencana dan membuat prioritas dan pekerjaan sesuai dengan cita-cita. Dan semua bisa direalisasikan.
Baca juga: Ainun Chomsun: Di Social Media, Tidak Ada Batasan Gender
Dalam presentasi yang Ibu bawakan di acara FemaleDev Summit, kebanyakan yang menjadi contoh pemimpin perempuan adalah sosok dari luar negeri. Lalu kalau di Indonesia sendiri bagaimana, sudah berapa persen perempuan yang sudah terjun di bidang teknologi?
Saat ini kita tidak punya hasil risetnya, tapi kalau melihat yang saya sampaikan tadi cukup banyak perempuan di Indonesia yang sudah menjadi pemimpin di perusahaan baik di perusahaan sendiri maupun di perusahaan orang lain. Dari data tersebut kita tahu bahwa sebenarnya perempuan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin karena banyak karakteristik perempuan yang cocok dengan sosok kepemimpinan masa kini.
Dulu kan pemimpin ideal itu harus yang strong, kalau sekarang kan menjadi pemimpin harus bisa memberdayakan orang lain, membuat orang lain bisa eksis, punya ownership, dan juga bisa berkolaborasi.
Jadi yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang egaliter, pemimpin yang bisa membuat tim berprestasi dan sukses. Menurut saya, perempuan mempunyai sifat seperti itu, tidak hanya menang sendiri tapi juga bisa membuat semua orang bersinar. Nah, ketika kita bisa membuat orang lain bersinar, kita sendiri akan menjadi sukses.
Intinya walau belum ada data pasti, tapi jumlah perempuan yang masuk dalam bidang teknologi saat ini sudah berkembang cukup pesat. Saya melihat perubahan ini salah satunya di ITB, pada jaman saya kuliah dulu (angkatan 1979) perempuan itu hanya sekitar 10-15%. Nah kalau saat ini sudah seimbang banget ya antara perempuan dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa di bidang teknologi pun, partisipasi perempuan sudah sama banyaknya dengan laki-laki. Menurut saya suatu kemajuan.
Baca juga: Q&A: Dhyta Caturani, Membebaskan Diri dari Belenggu Patriarki
Menurut Ibu, bagaimana menumbuhkan ekosistem teknologi di Indonesia khususnya untuk perempuan?
Ya, salah satunya dengan acara-acara seperti ini (FemaleDev Summit). Bagaimana perempuan dikumpulkan sehingga bisa membangun network. Meskipun sebenarnya network itu tidak hanya antara perempuan dengan perempuan saja, tapi juga perempuan dengan laki-laki.
Lainnya adalah dengan kita lebih sering berbagi inspirasi dan berbicara. Seperti yang saya lakukan, walau sangat sibuk saya masih menyempatkan ke sini untuk sharing. Karena apa? Supaya lebih banyak orang tertarik dan terinspirasi. Harapan saya, saya bisa menginspirasi lebih banyak perempuan untuk sukses. Kalau kita lihat kebanyakan perempuan termasuk yang tadi yang saya highlight di FemaleDev Summit, mereka semua peduli untuk berbagi inspirasi kepada perempuan lain.
Salah satu kuncinya adalah bagaimana mengajak lebih banyak perempuan untuk kuliah di jurusan teknik. Meskipun banyak perempuan yang tidak kuliah di bidang teknik pun, kita juga harus rajin meng-ekspose diri untuk menjadi inspirasi bagi perempuan lain.
Baca juga: Ibu Risma: Jangan Jadi Entrepreneur Hanya Karena Bosan Di Rumah
Apa pesan Anda untuk perempuan Indonesia yang ingin terjun ke bidang teknologi?
Dunia teknologi sangat menarik, sangat relevan untuk perempuan. Dunia teknologi juga akan membuat para perempuan jauh lebih flexible untuk bekerja di rumah, anytime, sehingga kita sekarang tidak harus memilih antara keluarga dan karir. Kita bisa menjalankan keduanya, menurut saya ini adalah dunia yang tepat untuk perempuan.
Header image credit: fastcompany.net