“Bila universitas mengajarkan apa yg dibutuhkan industri sekarang, mahasiswa yg lulus 4-5 tahun lagi boleh jadi sudah tidak relevan karena kebutuhan industri sudah berubah lagi.” – Widyawan, PhD.
Ngomongin pendidikan gak bisa lepas dari dunia pendidikan tinggi alias dunia kampus. Untuk menutup “Month of Education”, Ziliun ngobrol dengan dua orang akademisi, yaitu Pak Widyawan selaku direktur Direktorat Siste dan Sumber Daya Informasi di UGM, dan Pak Wawan Dhewanto, Ketua Program Studi Kewirausahaan di ITB.
Masih banyak orang yang punya anggapan “kuliah itu untuk mencari kerja”. Menurut Pak Wawan, sekarang itu sudah terjadi paradigm shift.
“20 tahun lalu saya pikir memang 90% orang kayak gitu (kuliah untuk cari kerja). Sekarang, udah mulai turun. 20 tahun lalu, semua orang mau jadi PNS karena, ‘Wah, jadi PNS keren’. Lalu beralih, jadi pegawai BUMN saja. Beralih lagi wah mau jadi pegawai swasta aja. Setelah itu yang kerennya malah, jadi ekspatriat, kerja di luar negeri. Dan sekarang, jadi entrepreneur jg keren, apalagi yg emang pengen, bukan yang kemana-mana cari kerja ga dapet terus jadi entrepreneur. Jadi memang paradigmanya berubah. Tapi mayoritas orang kuliah untuk cari kerja itu masih, apalagi calon mertua masih nanya ‘Kerja di mana?’, bukan ‘Kamu punya perusahaan apa?’”
Baca juga: #ziliun17: Kampus Terbaik Indonesia versi Webometrics
Sementara, Menurut Pak Widyawan, anggapan kalau kuliah itu untuk cari kerja bukanlah hal yang tabu, karena tujuan pendidikan sebenarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Bila individu yang kuliah cerdas dan berilmu, dalam prakteknya bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Memajukan ilmu itu sendiri (contoh: sebagai peneliti), sebagai pendidik, dan sebagai profesional (menerapkan keilmuan yg dimiliki). Sebagai profesional, dia bisa mengembangkan usaha sendiri (wirausaha berbasis keilmuan yang dimiliki) maupun kerja pada orang lain. Artinya ‘kuliah untuk mencari kerja’ dilihat dari sisi individu bukan hal yang tabu, terlebih kalau dia bersifat profesional, menerapkan keilmuannya secara bertanggung jawab.”, kata Pak Widyawan.
Universitas vs Industri
Kami pun bertanya kepada kedua akademisi, mengenai gap yang ada antara dunia perguruan tinggi dan dunia profesional alias real world (baik dalam hal pendidikan atau penelitian). Sebenarnya, perlukah universitas menyesuaikan dengan kebutuhan industri, atau universitas justru seharusnya hanya menjadi tempat membentuk pola pikir dan memperoleh keilmuan?
Menurut Pak Wawan, sebaiknya universitas dan industri sama-sama saling menyesuaikan, karena jika dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan universitas, penelitian yang baik adalah hasil dari apa yang terjadi di lapangan. Di universitas, ada dua jenis penelitian, yaitu research-push dan market-pull. Artinya, universitas bisa memiliki ide-ide baru yang kemudian didorong untuk diaplikasikan di industri, atau bisa saja universitas melakukan penelitian dari masalah yang memang ada di industri.
Baca juga: Esensi Berkegiatan Sebagai Mahasiswa: Cuma Buat Menuhin CV Nih?
“Kalau di negara maju, ada gap juga, tapi hubungannya lebih dekat. Perusahaan invest lebih besar untuk research and development. Kalau di Indonesia (investasinya) kecil, mereka lebih suka pakai teknologi yang sudah proven.” kata Pak Wawan.
Sementara itu, terkait pendidikan, Pak Widyawan bilang, “Menyesuaikan dengan kebutuhan industri tidak cukup, karena kebutuhan industri selalu berkembang. Apa yang dibutuhkan industri 5 tahun mendatang sangat boleh jadi beda dengan yg dibutuhkan sekarang, karena teknologi berkembang pesat. Bila universitas mengajarkan apa yg dibutuhkan industri sekarang, mahasiswa yg lulus 4-5 tahun lagi boleh jadi sudah tidak relevan karena kebutuhan industri sudah berubah lagi. Sangat penting mengajarkan keilmuan dasar yang bisa digunakan untuk menciptakan produk/industri baru di masa depan, di samping membekali dengan soft skill untuk siap terjun di masyarakat. Soft skill termasuk pola pikir yang terbuka, leadership, communication skill, dan lain-lain.
Apa yang akan berubah dari dunia perguruan tinggi?
Kedua dosen ini memiliki jawaban yang sama untuk pertanyaan di atas. Pak Wawan dan Widyawan sama-sama bicara tentang AFTA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menyebabkan terjadinya liberalisasi pendidikan, yang artinya setiap warga anggota negara ASEAN bisa bersekolah dan mencari kerja di tiap negara anggota ASEAN. Lulusan perguruan tinggi di Indonesia harus berkompetisi dengan lulusan asing. Perguruan tinggi di Indonesia juga akan berkompetisi langsung dengan perguruan tinggi di ASEAN.
“Tingkat kompetisi yang semakin tinggi membuat mau tidak mau membuat perguruan tinggi di Indonesia harus berbenah, meningkatkan kualitas pendidikan dan mutu lulusan kalau tidak mau kalah dengan perguruan tinggi dari negara tetangga,” kata Pak Widyawan.
Di sisi lain, kemajuan teknologi yang ada bisa turut memajukan pendidikan. Misalnya, e-learning, Massive Open Online Course (MOOC), serta paper dan jurnal online bisa memperluas akses pendidikan yang bermutu. Selain itu, menurut Pak Widyawan, akademisi juga bisa gampang berkolaborasi dengan peneliti asing, misalnya melalui researchgate.net dan scholar.google.com.
Jadi, dunia udah berubah, kampus-kampus siap gak untuk berubah? 🙂
Baca juga: Kalau Belajar Cuma untuk Gelar, Balik Deh ke Abad 20!
Header image credit: thedesignvillage.org
Comments 1