“It’s scary to say goodbye to the structure and systems and prizes that keep us afloat…” – Elle Luna.
Lo sekolah di SD dari kelas 1-6, lalu di SMP dari kelas 1-3, dan lanjut SMA kelas 1-3. Semua jenjangnya jelas, udah diatur sama sistem. Lo cuma perlu mikirin gimana caranya naik kelas setiap tahun.
Habis sekolah, ya standarlah pada cari kerja. Di pekerjaan, hidup lo lebih terstruktur: dateng jam 9, pulang jam 5. Ada career path. Habis jadi asisten manajer, bakal jadi manajer. Dari posisi junior, jadi senior. Sama aja kayak sekolah, lo bakal “naik kelas” asal rajin belajar dan kerja keras.
Nah, gimana dengan orang-orang yang kerja di startup atau jadi entrepreneur, di mana gak ada “kelas” atau track yang jelas? Ga ada struktur, ga ada jenjang. Dulu lo bisa feel good about yourself dengan pencapaian-pencapaian seperti dapet ranking bagus, naik kelas, dan sebagainya. Sekarang, tanpa struktur, rentan banget buat lo ngerasa pekerjaan lo gak meaningful.
Baca juga: Geng Pinter VS Geng Gaul
Pendidikan kita memanjakan kita dengan reward-reward yang sifatnya jangka pendek, ya “kelas-kelas” itu. Padahal, kalau memulai sesuatu dari nol, yang punya visi besar, gak akan ada jenjang atau struktur yang menuntun lo. Di sekolah, udah naik ke kelas 5, ya gak akan turun ke kelas 4 lagi. Di startup, bisa aja udah dapet investasi ratusan juta, atau punya jutaan pelanggan/user, tiba-tiba bangkrut.
Kelas-kelas di kehidupan nyata itu terbuka untuk interpretasi kita masing-masing. Dan cuma kita yang bisa bikin diri kita naik kelas. Gak ada temen yang bisa ngasih contekan, gak ada guru yang bisa ngelulusin. Definisi “naik kelas” lo pun will show who you truly are. Kalo cuma naik jabatan dari asisten jadi manajer sih, itu cuma titel doang. Kalo bisa bikin manfaat yang lebih besar untuk masyarakat, itu baru naik kelas yang jempolan.
Baca juga: Tough Love, Jawaban Atas Semua Pencapaian Luar Biasa
Header image credit: nos.twnsnd.co