Bukan rahasia umum kalau komunitas adalah sekumpulan orang yang memiliki minat yang sama. Kita sendiri sadar kalau kita butuh tempat berinteraksi dengan partner yang memiliki kesamaan yang sama dengan kita, untuk menggali ataupun menginspirasi minat yang kita miliki.
Walaupun punya minat dan visi yang sama, tapi pastinya anggota komunitas punya talenta atau “aliran” masing-masing. Contohnya, di komunitas-komunitas melukis. Tujuan mereka memang satu, yaitu mengekspresikan diri atau menyuarakan aspirasi melalui lukisan. Namun, setiap lukisan disampaikan dengan cara yang berbeda melalui alirannya masing-masing. Ada yang realisme, naturalisme, abstrak, dan lain sebagainya.
Terus apa namanya itu? Ya, kolaborasi. Kenapa kolaborasi? Karena kolaborasi adalah fenomena yang gak bisa dihindari ketika lo dihadapkan dengan banyak orang dengan latar belakang beda, tapi punya satu tujuan yang sama.
Pertanyaan lagi, apa sudah cukup berkolaborasi dalam lingkup komunitas aja? Apa bisa menciptakan dampak yang besar hanya dengan berbagai talenta di dalam satu komunitas?
Baca juga: Fenomena: Budaya Inovasi dan Kreativitas
Jawabannya, impossible–seperti peribahasa bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kalau kita melakukan suatu pekerjaan bersama-sama, maka kita akan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada melakukan sesuatu sendiri. Bersatu lebih kuat daripada terpecah belah yang akan membuat kita tercerai-berai.
Misalnya, banyak komunitas yang punya purpose membangkitkan sektor pariwisata di Indonesia yang potensinya belum tergali maksimal. Berbagai komunitas perlu tuh, berkolaborasi secara sinergis supaya tercipta suatu dampak yang masif. Misalnya, komunitas travel blogger dan fotografi jalan bareng ke destinasi-destinasi eksotis di Indonesia, untuk bikin suatu kumpulan memoar perjalanan yang diisi foto-foto yang ciamik. Semua berkontribusi sesuai perannya masing-masing, termasuklah dengan pemerintah dan perusahaan. Kalau sendiri doang, mana mungkin?
Di Indonesia sendiri, penggiat komunitas sudah menjamur sekali. Data Kemendagri menunjukkan bahwa jumlah komunitas yang terdaftar di Indonesia sudah mencapai sekitar 100.000 komunitas. Mereka terdiri dari berbagai macam bidang: pendidikan, seni, teknologi dan lain lain. Namun, yang aktif memberikan laporan ke pemerintah hanya 10 persen saja, di mana hanya sekitar 90.000 komunitas yang terdaftar. Kebanyakan pun adalah komunitas yang tidak produktif, dan belum terasa kontribusi nyatanya.
Baca juga: Cari Partner Dengan Skill Berbeda, Tapi Punya Visi Yang Sama
Nah, sekarang udah banyak banget wadah yang mempertemukan para komunitas, sehingga bisa menjadi katalis untuk kolaborasi. Beberapa di antaranya adalah Indonesia Community Network (ICN) yang rutin diadakan setiap tahun untuk menyambut Hari Komunitas Nasional pada tanggal 28 September. Ratusan komunitas sengaja dipertemukan untuk berkolaborasi menghasillkan karya yang memiliki dampak dan perubahan besar bagi Indonesia. Ada juga Social Media Festival, yang mempertemukan berbagai komunitas online dari berbagai bidang dan latar belakang. Ini mestinya bisa mempermudah komunitas untuk saling mengeksplor kemungkinan berkolaborasi, jadi momen pemerintah melengkapi database-nya (supaya juga tahu kondisi grassroot movement seperti apa), dan jadi ajang pihak swasta yang peduli dengan cause tertentu untuk menggandeng komunitas yang sesuai.
Poinnya, balik lagi. Setiap orang dalam komunitas memiliki satu tujuan walau berbeda kemampuan. Begitu pula setiap warga negara (yang baik dan benar) di Indonesia pasti punya satu visi dan tujuan: memajukan Indonesia, meskipun dengan cara yang berbeda. Nah, kalau kita bisa berkolaborasi dalam komunitas, kenapa nggak kita coba tes diri kita untuk “naik kelas” dengan kolaborasi antar komunitas? Banyak banget take and give yang bisa kita dapet.
So, community, challenge yourself to be bigger, more impactful.
Baca juga: Kolaborasi Atau Mati
Header image credit: hypepotamus.com