“Anyone can steal your idea, but no one can steal your execution.” – Nadiem Makarim
Kebanyakan orang yang frustasi akan suatu hal, lebih banyak mengeluh namun tidak berbuat banyak. Berbeda dengan Nadiem Makarim, yang dari frustasinya menghabiskan waktu lebih lama di jalan karena kemacetan, akhirnya membuat Go-Jek.
Nothing is original
Founder dari Go-Jek ini sebenarnya sudah mulai membuat Go-Jek sejak tahun 2011. Namun, fokusnya pada saat itu bukan di Go-Jek. Tak disangka, tiga tahun setelahnya, Nadiem mendapati bahwa bisnis yang “ditelantarkannya” ini malah tumbuh secara organik. Apalagi, saat 2014, salah satu bisnis serupa bernama Uber telah menggila lebih dulu.
“Karakteristik entrepreneur yang paling penting, pertama adalah keberanian bukan kepintaran,” ungkap Nadiem di depan mahasiswa ITB pada acara The Backstage yang diselenggarakan oleh Ziliun dan Tech in Asia, bekerjasama dengan Program Studi Kewirausahaan ITB (29/05).
Baca juga: Membangun Startup: Sakitnya Tuh di Sini!
Ia mengakui bahwa konsep Go-Jek bukanlah suatu ide orisinil, karena ia yakin banyak orang yang sudah memikirkan tentang bisnis ini. Namun, nyatanya hanya tim Go-Jek yang berani memulai dan menuntaskan eksekusi ide aplikasi ojek dengan, yang bermula dari pikiran Nadiem sendiri: “Saya membutuhkan layanan ini”.
Bukan Ojek Biasa
Nadiem menjelaskan bahwa Go-Jek bukan hanya jasa kurir atau jasa transportasi, melainkan juga adalah layanan aplikasi sosial – yakni aplikasi yang merangkul para driver yang mau bekerja keras, walaupun tidak memiliki pendidikan tinggi atau pernah di-PHK perusahaan.
Baginya, landasan utama eksistensi dari Go-Jek adalah trust – kepercayaan pelanggan terhadap para driver Go-Jek. Awalnya, memang sulit bagi pelanggan untuk percaya pada Go-Jek, tapi Go-Jek telah menjelma menjadi word-of-mouth dan perbincangan hangat, karena di setiap sudut Jakarta sering kita temui pengendara motor dengan jaket hijau bertuliskan Go-Jek.
Baca juga: eFishery, Startup Ikan yang Gak Sekadar Keren-Kerenan
Ketekunan memberikan kualitas kepada pelanggan membuat hal-hal menarik yang menandakan trust pelanggan mulai tumbuh, salah satunya adalah banyaknya driver yang dipercaya untuk mengirimkan dokumen penting, invoice keuangan, Macbook Pro, kamera, dan sebagainya. Bukan hanya itu, Go-Jek terus memperluas layanannya. Salah satu yang juga fenomenal adalah ketika Go-Jek meluncurkan layanan Go-Food dan dalam dua hari sudah merangkak menjadi salah satu layanan delivery food terbesar di Jakarta.
Mulai dari Nol
Nadiem mengawali Go-Jek layaknya seorang founder pada umumnya. Ia ikut turun ke jalanan dan menghampiri tukang ojek calon driver Go-Jek. Sambil ngopi bareng mereka, Nadiem berbincang dan belajar tentang kehidupan mereka. Ia menyadari bahwa otonomi tukang ojek sangat tinggi. Artinya mereka cukup bangga bekerja untuk dirinya sendiri. Go-Jek sendiri bisa berkembang dari insight yang diperoleh Nadiem tersebut, bahwa tukang ojek akan jadi lebih makmur jika mereka bisa bekerja layaknya wirausaha kecil, yang bebas menentukan jam kerja dan pesanan yang ingin diambil.
Dengan 80% hasil yang diberikan kepada driver-nya, Nadiem dan Go-Jek telah menunjukkan komitmen luar biasa bahwa Indonesia mampu memberdayakan SDM-nya dengan cara yang inovatif. Bahkan beberapa kali, Nadiem diminta untuk ekspansi ke negara lain, namun ia menolak dengan alasan bahwa misi Go-Jek adalah untuk Indonesia.
Baca juga: Apa yang Salah dari Founder Pemula
Menariknya, karena sistem Go-Jek mempermudah driver mendapatkan pelanggan, pemasukan seorang driver Go-Jek bisa mengalahkan seorang manajer perusahaan di Jakarta. Dengan pemasukan yang berlipat ganda, driver Go-Jek terpacu untuk terus memberikan pelayanan yang berkualitas agar pelanggan terus percaya pada Go-Jek. Hal ini menjadi alasan mengapa risiko pencurian barang berharga jarang terjadi, karena driver Go-Jek sendiri sudah mendapatkan penghasilan lebih dari cukup. Bahkan, yang lucu adalah, seorang customer service Go-Jek keluar dari pekerjaannya dan melamar menjadi seorang driver Go-Jek.
Tech is the new black
Nadiem sadar bahwa seluruh industri akan menjadi industri teknologi ke depannya. Walaupun latar belakangnya bukan IT, Nadiem berpesan kepada mahasiswa ITB untuk tidak terpaku dengan apa yang pernah dipelajari dan kembali dari nol untuk mulai belajar.
“Teknologilah yang bisa memberikan dampak sosial terbesar di negara ini. Bukan kebijakan atau policy,” ujar Nadiem.
Nadiem juga yakin bahwa jika business model suatu startup memakmurkan banyak orang, maka pemiliknya juga akan makmur, karena social mission dan business adalah perpaduan yang tepat.