Orang lain gak akan segan untuk bantu, bahkan bila perlu ngajarin dan memberikan mentoring bagi orang-orang yang punya can-do attitude, karena mereka mau belajar hal baru, ketimbang orang yang sudah menganggap dirinya tahu segalanya.
Beberapa waktu yang lalu, saat saya dalam acara keluarga, saya bertemu salah seorang tante yang jarang saya temui. Saya memutuskan untuk mendekat padanya, mencari tahu apa yang telah ia lakukan selama ini, sekaligus mendekatkan hubungan kami.
Setelah bercengkerama cukup lama, saya akhirnya tahu kesibukannya selama ini hingga ia jarang datang ke acara keluarga kami. Ia tengah sibuk dengan urusan kerjanya di bidang pariwisata.
Lalu ia bertanya balik kepada saya tentang kesibukan saya. Saya pun menjawab, sekarang saya sedang berkuliah di luar kota mengambil studi pertanian. Tante saya tercengang. Alih-alih menanyakan alasan saya memilih jurusan tersebut seperti kebanyakan orang, ia malah bercerita bahwa ia dulunya juga mengambil jurusan studi yang sama. Saya pun gantian tercengang.
Baca juga: Perusahaan Multinasional: Cari Ilmunya, Bukan Namanya
Dengan sigap tante saya bercerita panjang kenapa akhirnya dia memutuskan karier di bidang pariwisata. Bidang keilmuannya memang bukan sesuai profesinya sekarang. “Kenapa nggak?” katanya.
Menurutnya, ijazah tidak menentukan ke pekerjaan mana ia harus berlabuh. Ia juga sempat menambahkan selama kuliah, ia juga tidak punya pengalaman apapun dalam pariwisata. Ikut organisasi atau mengambil mata kuliah pariwisata saja tidak. Hal itu mengalir saja dalam dirinya dengan proses keterusbelajaran (lifelong learning).
Bukan latar belakang pendidikan, bukan pengalaman, melainkan attitude. Terlebih dengan can-do attitude. Mungkin tante saya tidak punya pengetahuan dan kapabilitas untuk masuk dunia pariwisata dibandingkan “pesaing” lain yang tentunya sudah mengenal pariwisata lebih lama. Dunia pariwisata itu luas dan buat tante saya yang masih “pemula”, pastinya harus punya mental can-do attitude, sikap percaya diri, dan akal dalam menghadapi tantangan. Hukum alam itu masih berlaku: yang kuat, yang bertahan.
Baca juga: Dunia Disabilitas, Dunia Kita Juga
Tante saya akhirnya keluar dari belenggu pemula dan berhasil meniti karier di sana. Lambat laun dia mulai diperhatikan dan mulai dipercayai orang-orang di dunianya yang baru. Pesan tersirat yang tante saya berusaha ungkapkan mungkin berbunyi seperti “Kalau belum apa-apa udah bilang nggak bisa dan kalah sebelum start, saya (ataupun kamu) gak akan bergerak.”
Sudah cukup lama saya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menambah keraguan dalam hidup saya, “Bagaimana saya bisa berkiprah di dunia dengan passion saya, sedangkan saya tidak punya kapabilitas dibandingkan dengan ikan-ikan di laut lain?”. Mungkin bukan saya saja yang berpikir seperti ini, tetapi anak muda yang lain juga (bukan untuk menyenangkan diri sendiri) karena saya yakin bahwa jiwa anak muda masih labil dalam menentukan jati diri.
Jawaban simpelnya adalah kesiapan mental untuk mempelajari hal baru, can-do attitude. Saya tidak bilang kalau tante saya adalah satu-satunya yang banting setir di dunia kerja. Ia hanya satu contoh dari ribuan orang yang mengalami hal sama.
Baca juga: Work Hard, Learn Hard, Try Hard
Tapi satu yang saya yakin pasti–can do attitude–membuat orang yang memilikinya lebih resourceful. Dan orang lain gak akan segan untuk bantu, bahkan bila perlu ngajarin dan memberikan mentoring bagi orang-orang yang punya can-do attitude karena mereka mau belajar hal baru, ketimbang orang yang sudah menganggap dirinya tahu segalanya (karena embel-embel ijazah) tetapi ujung-ujungnya malah bermuara pada kesotoyan.
Jadi, ingat modal kerja utama: bukan ijazah, bukan pengalaman, tapi attitude.
Header image credit: fastcompany.com