Saya makin lama makin yakin, orang Indonesia ngga butuh pelajaran agama di sekolah. Butuhnya pelajaran logika.
Kemarin saya mengalami kecelakaan. Mobil yang saya tumpangi ditabrak bus kota dari belakang. Bukan mobil saya sih. Dan ngga fatal juga, karena saya baik-baik saja. Cuma kondisi pintu belakang dan bemper mobil penyok ke bagian dalam. Saya yang duduk di deretan kursi paling belakang jelas merasa syok, karena benturan yang terjadi cukup keras. Apalagi kondisi mobil pada saat itu sedang berhenti di lampu merah. Bukan sedang berjalan, apalagi kebut-kebutan. Ketika dikonfrontasi, supir bus tersebut mengaku kalau kendaraan yang ia supiri itu kehilangan angin, sehingga tidak bisa mengerem dengan baik. Jadilah tabrakan itu tidak terelakkan. Maklum, mobil tua, katanya.
Berhubung kejadiannya berlangsung di jalan protokol, langsung petugas kepolisian menghampiri dan berusaha mengatur supaya tidak terjadi kemacetan. Mobil dan bus segera dipindahkan ke tepi, lalu mereka memberikan surat tilang kepada pengemudi bus. Tidak lama setelah itu, polisi tersebut bertanya kepada saya – yang menunggu dengan gelisah di dalam mobil, “Ibu, mau urus sendiri, apa urus ke kantor polisi?”
Saya yang belum pernah mengalami kecelakaan semacam ini, terdiam sesaat. Urus sendiri, atau urus ke kantor polisi? Maksudnya? Bukannya prosedur yang seharusnya itu adalah pelaku dibawa ke kantor polisi? Diproses dan ditindak layaknya pelanggar peraturan? Lagipula setelah dicek, surat KIR yang dimiliki si pengemudi bus sudah mati dari tahun lalu. SIM nya pun palsu. Cuma KTP yang (sepertinya) asli.
Baca juga: Bertanya Perlu Logika
Karena saya sudah ngga sabar, dan sepertinya, gelagatnya sudah tidak baik, saya paksa supir untuk segera pergi. Lagipula, toh mobilnya dilindungi asuransi. Dan lagipula juga, supirnya tidak bakal sanggup bayar ganti rugi. Supir tersebut juga merengek minta surat jalan busnya dikembalikan. Buat modal cari setoran, katanya. Ya sudahlah. Buat apa juga menyusahkan semua orang dengan berlama-lama di tepi jalan protokol di sore hari yang macet ini? Saya juga curiga oknum polisi punya maksud yang tidak baik. Bisa-bisa saya direpoti dengan harus kasih uang. Bisa-bisa. Ngga tahu juga sih, tapi ngga mau ambil risiko juga.
Setelah pergi, sambil berpikir, saya semakin merasa kesal. Apa-apaan sih begitu. Bukan, bukan kesal karena ditabrak. Tapi kesal karena saya sadar betul, betapa bobroknya penggunaan logika orang Indonesia pada umumnya.
Jelas-jelas bus kota usia puluhan tahun, masih boleh masuk jalan protokol ibukota. Bayangkan, puluhan tahun. Entah sudah seperti apa bentuk mesin, rangka, dan isinya. Kenapa tidak dihancurkan jadi besi tua dan diloak atau didaur ulang? Pada saat itu saja, isi penumpangnya penuh padat. Barangkali ada 100 orang berjejal di dalam. Saya ngga bisa bayangkan syok yang dialami penumpang ketika busnya menghantam mobil yang saya tumpangi. Apalagi mereka yang mesti berdiri.
Baca juga: Jangan Asal Nurut Orangtua
Jelas-jelas surat izin laik kendaraannya juga sudah mati. Kenapa penumpang dibiarkan naik bus yang jelas-jelas berbahaya? Apa memang mau mencelakakan orang? Oke, kalau supir terpaksa karena harus cari uang. Tapi yang menguji? Yang membuat peraturan? Yang menegakkan peraturan, bagaimana?
Logikanya, polisi seharusnya menahan supir dan pemilik kendaraan bobrok sesuai aturan yang berlaku. Logika lain, polisi seharusnya menilang semua kendaraan tidak laik jalan yang mereka temui sehari-hari, sebelum sudah terjadi kecelakaan fatal. Logika lainnya lagi, pihak Dishub seharusnya dari awal sudah tidak lagi menurunkan bus semacam ini ke jalan, karena mereka tahu tidak layak digunakan. Itu kalau semuanya pakai akal sehat dan logika. Lagi-lagi semuanya mesti pakai kalau.
Yang salah siapa? Yang salah ya kita semua. Kenapa kita selalu ngga mau turut peraturan, dan cuma mau kasih uang pelicin kalau ditilang, biar lolos. Jadinya ya, waswas sendiri sama oknum yang bisa dibeli. Takut dimintai uang, tapi takut juga kalau ngga kasih uang. Tapi kemudian marah-marah kalau semua orang melanggar aturan. Ya gimana, sendirinya aja melanggar peraturan.
Baca juga: Nrimo Pangkal Dijajah
Salah siapa lagi? Ya salah kita, kenapa pasrah sama keadaan. Kalau tahu ada hal yang jelek dan sistem yang buruk, ya dilawan. Usaha untuk diganti dan diubah. Bukan jadi orang yang acuh tak acuh. Bukan yang penting diri sendiri, orang lain bodo amat. Makanya ketika di jalan dan naik mobil pribadi sendirian, ngga boleh ngeluh macet panjang. Sendirinya berkontribusi sama kemacetan kok.
Sekali lagi, kalau ada hal yang salah, ya dibenarkan. Kalau lihat hal yang jelek, ya diperbaiki. Kalau tidak tahu, ya bertanya. Bukan sebaliknya, yang salah dibiarkan, yang jelek diteruskan, dan yang bodoh dipiara.
Saya makin lama makin yakin, orang Indonesia ngga butuh pelajaran agama di sekolah. Butuhnya pelajaran logika.
Header image credit: nypost.com