“No culture can live if it attempts to be exclusive.” – Mahatma Gandhi
Banyak komunitas yang saat ini mengalami dilema: mau mempertahankan komunitas dengan image yang sekarang, atau mengubahnya demi keberlangsungan komunitas itu sendiri. Ya, di sini gue bicara tentang komunitas yang sejak awal me-”label”-kan diri dengan eksklusifitas. Mereka yang (secara tidak resmi) hanya menerima anggota dengan ciri-ciri demografi atau psikografi tertentu.
Padahal arti komunitas sendiri stands to perkumpulan orang yang berada di tempat atau hobi, minat, dan pemikiran yang sama. Artinya ya, orang berkumpul untuk kesenangan yang sama regardless perbedaan yang ada, malah dengan perbedaan yang ada komunitas tersebut akan semakin tumbuh dengan kekayaan yang berlimpah.
Ambil contoh dari film Pitch Perfect. Grup paduan suara Barden Bellas punya ciri-ciri tipikal anggota yang diterima, yaitu cewek-cewek feminin yang menganut nilai-nilai tradisional. Namun, karena suatu kejadian, Barden Bellas kehilangan banyak anggota, dan desperately mencari anggota baru. Karena kondisi itu, mereka akhirnya merekrut anggota-anggota yang bervariasi–mulai dari yang gak physically attractive, sampai yang rebel–tapi tetap dengan satu kesamaan, yaitu kecintaan terhadap musik. Kalau Barden Bellas tetap kekeuh mencari cewek-cewek feminin tradisionalis, mungkin grup paduan suara ini gak akan bertahan.
Baca juga: Orang Kita Pinter, Cuman Salah Fokus
Sayangnya, pemikiran itu gak semua komunitas miliki, kebanyakan masih memiliki ego yang kelewat gede. Sebenernya gak ada yang salah dengan kepercayaan atau rasa memiliki yang tinggi terhadap komunitas yang menaungi. Menjaring anggota dengan syarat-syarat spesifik tertentu mungkin merupakan salah satu cara agar tercipta sense of belonging yang tinggi di komunitas tersebut. Tapi, kalau udah mengancam keberlangsungan komunitas, apa masih mau segitunya mempertahankan eksklusifitas?
Kondisi ini banyak terjadi di kota-kota Indonesia di mana gengsi kelompoknya besar. Salah satunya komunitas sosial yang membatasi anggotanya hanya berisi perempuan kalangan atas aja (bukan sosialita, ya). Akibatnya, maksud dan tujuan awal dari pendirian komunitas, yaitu purpose dan visi awal yang diusung, mengalami pergeseran atau tidak tercapai karena terhalang oleh salah citra yang terjadi.
Baca juga: Haruskah Jadi Mapan Untuk Bisa Idealis?
Kalau suatu komunitas udah dicap eksklusif dan egosentris peluang untuk menambah keanggotaan menjadi terhalang. Padahal, untuk berbuat baik bagi lingkungannya kan gak harus cuman melibatkan perempuan kelas atas. Semua orang, mau cowo cewe, kaya atau miskin, punya hak yang sama juga untuk saling membantu.
Sayang beribu sayang, masalah di atas banyak dialami oleh kebanyakan komunitas dan sepertinya gak ada usaha apapun untuk menyelesaikan masalah itu. Akibatnya ya jelas, komunitas terus-terusan di cap eksklusif dan egosentris, di lain pihak, masyarakat akan kesulitan mengakses komunitas tersebut.
Meski komunitas punya nilai dan tujuan audiens yang disasar, tapi jika niatnya baik, kenapa engga melibatkan banyak pihak? Tujuan baik akan lebih mudah kan kalo dikerjain bareng-bareng? Lagian kata Mahatma Gandhi, no culture can live if it attempts to be exclusive.
Baca juga: Ketika Budaya Radikal Makin Menjual
Header image credit: viproomnyc.com
Comments 1