Jumlah entrepreneur di Indonesia hanya sekitar 1,26 persen dari total populasi di Indonesia. Padahal untuk bisa benar-benar menyokong perekonomian suatu negara, dibutuhkan minimal 2 persen entrepreneur. Apa pendapat kamu?
Wajar ga sih, sistem pendidikan kita kan emang mendidik kita jadi pekerja.
Benar sih. Tapi, bisa ga sih kita berhenti blaming dan do something. Iya, sistem pendidikan kita memang masih jauh dari sempurna, ga memfasilitasi seluruh siswa berkembang seutuhnya, penuh korupsi dan kecurangan. Tapi, bisa ga lo berpikir sejenak, “Oke, sistem pendidikan negara gue jelek, tapi bukan berarti gue ga bisa jadi entrepreneur” atau dengan pemikiran “Gue punya chance yang sama untuk jadi entrepreneur dengan anak lain yang berasal dari negara dengan sistem pendidikan yang lain”. Sampai zaman kapan pun, suatu sistem ga akan pernah sempurna, tapi kita bisa menentukan di mana posisi negara ini: sebagai negara penyumbang pekerja murah atau penyedia lapangan kerja.
Baca juga: It’s Always The “Why” That Matters
Please, cari kerja aja susah, apalagi bikin bisnis sendiri. Ngomong doang yang mudah.
Coba lo bayangkan berapa tahun lamanya lo menempuh pendidikan. Yang punya gelar S1 telah menghabiskan kurang lebih 16 tahun di sekolah. Dengan waktu, tenaga, uang yang sama lo bisa milih kerja dengan gaji 5 – 10 juta, atau gambling untuk menentukan sendiri berapa besar gaji lo di usaha lo sendiri.
Jadi entrepreneur ga menjamin keamanan finansial di hari tua tuh.
Tapi, at least hidup lo dipenuhi tantangan. Bukan meringkuk dalam suatu posisi yang membuat mental lo hanya “kerja kalau disuruh”. At least, kalaupun lo bangkrut dan kalah dalam membangun bisnis lo, lo ga kalah sebelum berperang. Dan believe me, seorang entrepreneur sejati ga akan berhenti setelah gagal 1 atau 10X, mereka akan bangkit dan belajar dari kesalahannya.
Baca juga: Gibran Huzaifah: Entrepreneur Harus Bisa Membuat Nol Jadi Satu
Ide bisnis gue banyak, tapi susah banget eksekusinya. Cari dana susah banget.
Memang susah, makanya lo harus punya tujuan dan objektif yang jelas. Peluang itu diciptakan bukan ditunggu. Salah satu bisnis di Makassar, Tenun Sengkang, dibangun oleh lulusan hukum yang ga mau ngelihat kain tenun bekas toko keluarganya yang gagal terbengkalai. Daripada pasrah sama nasib, dia cari peluang dengan memasarkan kain tenunnya ke seluruh Indonesia bahkan global via online. Dia ga perlu toko tapi bisnis keluarganya berkembang lagi.
Tunggu aja beberapa tahun lagi sampai mencapai 2%, pasti ada kok yg mau jadi entrepreneur. Tapi, bukan gue.
Yah, well tadi di awal gue udah bilang tulisan ini untuk orang-orang yang mau jadi entrepreneur tapi ga punya keberanian. Bukan untuk orang-orang yang menunggu perubahan itu terjadi. Sorry.
Baca juga: Tiga Bahan Bakar Entrepreneur
Mau uang cepat tanpa modal? Mending ikutan MLM.
Mungkin gue harus bahas soal menjadi entrepreneur itu bukan semacam punya uang 5 juta buka toko kelontong dan ada pelanggan yang beli. Itu konsep lama. Definisi entrepreneur dalam artikel ini adalah yang punya visi dan memanfaatkan pasar untuk mencapai visi itu. Misal: co-founder Google, Larry dan Sergey, yang punya visi untuk membuat informasi bisa diakses oleh semua orang di seluruh dunia, makanya bikin Google. VISI. Bukan rupiah doang. Atau kalau visi dalam skala kecil adalah passion kita. Contoh, Beecup di Bali, founder-nya Wiko memang punya passion dalam hal bakery dan cake, sebagaimana founder Lareia di Surabaya, Andrea dan Karin.
Semua bisnis tuh sudah diambil sama pasar semua, gue mau buka bisnis. Tapi, ga tau mau apa, semua ide udah diambil semua.
Yah, well mungkin lo harus dengar kisah tentang Manikan.co, dia buka bisnis fashion tas dengan menambahkan elemen kain endek Bali. Bro, nothing is original, you put your own originality in your work.
Gue pernah bikin bisnis, gagal mulu. Males.
Pernah denger soal Evrawood, fashion bag ternama based on Surabaya. Dulu banget, nama brand-nya adalah Ortiz yang ternyata nama brand tersebut sudah dipatenkan oleh salah satu bisnis dari Jerman, dia harus bayar 3,5 milyar karena pelanggaran hak paten dan harus rela bawa pulang produknya yang diimpor. Apa dia berhenti? Kalau berhenti, mana mungkin kita kenal Evrawood sekarang.
Intinya, stop reading, stop wishing, and start doing. The end.
Header image credit: sitebuilderreport.com
Comments 1